Peringatan proklamasi kemerdekaan RI ke-67 kali ini terjadi berimpit dengan datangnya Idul Fitri (lebaran). Dua momen yang hadir hampir bersamaan ini menarik bukan semata keduanya peristiwa penting bagi sebagian besar rakyat Indonesia, tapi juga memiliki makna yang nyaris sama. Proklamasi dan Idul Fitri sama-sama melambangkan kemenangan atas perjuangan insan manusia. Proklamasi kemerdekaan merupakan puncak kemenangan atas perjuangan memukul mundur penjajah di bumi Indonesia yang telah dimulai sejak ratusan tahun sebelumnya. Sementara itu, Idul Fitri bagi kaum muslim merupakan perayaan kemenangan atas perjuangan mengendalikan hawa nafsu (khususnya yang bersifat material) selama sebulan penuh (Ramadhan). Menariknya lagi, kemanfaatan dan keberkahan proklamasi dan Idul Fitri tidak semata dilihat pada saat peringatan puncak peristiwa itu, namun ketika usai proklamasi dikumandangkan dan takbir Idul Fitri ditalunkan.
Sesat Kebijakan
Teks proklamasi tidak menyodorkan substansi yang mesti dikerjakan oleh bangsa ini dalam mengisi kemerdekaan yang telah diperoleh. Namun, seperti yang sudah kerap diulang, kemerdekaan tak lain merupakan “jembatan emas†untuk mewujudkan cita-cita konstitusi, yakni kemakmuran ekonomi dan keadilan sosial. Sejarah mencatat, pembangunan yang dijalankan sejak kemerdekaan hingga sekarang sudah menghasilkan capaian-capaian yang bisa dibanggakan (tentu dengan segala cacat di baliknya). Sarana infrastruktur ekonomi makin hari dapat dinikmati oleh masyarakat, dari mulai jalan, jembatan, irigasi, bendungan, pelabuhan, bandara, telekomunikasi, dan lain-lain. Tingkat pendidikan rakyat kian baik, ditandai oleh berdirinya sekolah-sekolah dari Sabang sampai Merauke, dari SD sampai Perguruan Tinggi. Pendapatan per kapita masyarakat terus meningkat hingga masuk ke dalam kategori negara berpendapatan menengah-bawah. Tentu saja masih banyak lagi simbol-simbol kemajuan ekonomi lainnya yang dapat dideretkan.
Sungguh pun begitu, penilaian sekilas itu kerap ditampik oleh banyak pihak (di luar pemerintah) sebab data itu tidak paralel dengan situasi kebatinan yang dirasakan rakyat. Sebagian masyarakat merasa beban hidup makin tak tertanggungkan. Harga pangan kian tak terjangkau, kepemilikan sawah makin menyusut, nelayan kehilangan mata pencahariannya, pedagang kecil terus digusur, sektor informal yang makin menjamur, dan buruh-buruh hidup berdesakan di kamar-kamar sempit sekitar pabrik. Perasaan hidup yang sulit itu ternyata didukung data lainnya, bahwa ketimpangan pendapatan menembus batas yang tak pernah dialami sebelumnya, yakni Gini Rasio/GR (alat ukur ketimpangan pendapatan) mencapai 0,41 (2011). Sebelum krisis ekonomi 1997/1998 GR hanya sekitar 0,32-0,33; tapi setelah reformasi ekonomi malah melesat. Artinya, peningkatan pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi hanya memusat pada lapisan atas masyarakat.
Mengapa hal itu dapat terjadi? Banhyak cara untuk menjelaskan ini, namun secara sederhana bisa dideskripsikan dengan jalan ini. Pertama, rakyat (bawah) telah kehilangan aset ekonomi, khususnya lahan, sehingga kemampuannya untuk mengakumulasi pendapatan kian lemah. Sebaliknya, korporasi atau pemilik modal tidak dibatasi kepemilikan lahan atau kebun sehingga bisa menguasai jutaan hektar kebun maupun puluhan ribu hektar lahan perumahan. Kedua, 75% investasi bersumber dari modal asing (PMA) sehingga pertumbuhan ekonomi (yang bersumber dari investasi) dan peningkatan pendapatan sebagian (besar) bukanlah milik warga Indonesia. Ketiga, kebijakan pemerintah makin melemahkan sektor ekonomi yang selama ini dihuni sebagian besar tenaga kerja (sesat kebijakan), yaitu pertanian dan industri (yang mengolah sumber daya domestik). Sektor pertanian dan industri tumbuh tak jauh dari bumi dipijak, namun sektor non-tradeable pertumbuhannya menyundul langit.
Pemuja Materi
Lantas, apakah sesat kebijakan itu juga menular kepada reduksi makna kemenangan atas hawa nafsu yang dibopong nilai Idul Fitri? Intinya begini: pembangunan ternyata hanya menyuburkan keserakahan dan memfasilitasi pemujaan materi tiada bertepi. “Greedy is good†merupakan semboyan ekonomi hari ini. Makna pembangunan yang seharusnya diartikulasikan sebagai peningkatan kapabilitas manusia (jasmani dan rohani) jatuh sebatas proyek akumulasi materi yang tak pernah usai. Tentu saja materi penting untuk menopang kemajuan dan kualitas hidup, tapi keberadaannya tidak boleh menindih pusat hidup yang lain: spiritualitas. Inilah yang hilang dari proyek pembangunan yang dikerjakan selama ini. Sensitivitas sosial ditelan oleh motif akumulasi ekonomi hingga meruntuhkan sendi-sendi kemanusiaan itu sendiri. Tubuh manusia tak lagi merdeka, tapi mirip papan iklan. Aneka merek menempel dan bergelantungan di kepala, mata, dada, perut, pergelangan tangan, bahkan gigi. Celakanya, pesan Ramadhan tak juga mampu menaklukkan perkara ini.
Ketika materi menjadi berhala dan menyingkirkan spiritualitas maupun sensitivitas sosial, maka dengan mudah aturan main (regulasi) ditabrak dan etika ditubruk. Penyelenggara negara tidak sungkan menjarah anggaran rakyat dan rakyat tak malu menadah barang haram, semuanya demi menafkahi kepuasan lahiriah yang tanpa batas dengan jalan instan. Pencarian materi disokong oleh iman “makan sebelum laparâ€, tapi tidak dipagari oleh nilai “berhenti sebelum kenyangâ€. Modernisasi ekonomi telah mematikan saraf manusia untuk mendefinisikan rasa kenyang, sehingga perut tak pernah merasa penuh meski aneka makanan dan minuman telah ditelan. Sebaliknya, paham materialisme menghidupkan secara total impuls lapar yang terus-menerus. Rasanya tak ada kombinasi yang lebih sempurna menciptakan kerusakan ketimbang persekutuan dua hal ini: sesat kebijakan dan materialisme pembangunan. Semoga proklamasi dan Idul Fitri dapat mengembalikan nilai-nilai agung bangsa ini.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef