Hari-hari ini, ketika usia Republik sudah mencapai 62 tahun, sebetulnya sudah terlambat untuk berbicara mengenai kemandirian (ekonomi). Usia yang hampir mencapai delapan windu mestinya pembicaraan telah melampaui kemandirian, misalnya memperluas jangkauan pasar global yang bisa direbut Indonesia. Namun, nyatanya saat ini negara malah sedang memasuki masa di mana seluruh sendi-sendi ekonomi dikuasai oleh pihak lain (asing), sehingga watak kemandirian kian menjauh dari karakteristik perekonomian nasional. Celakanya, sebagian besar ekonom menganggap fenomena ini sebagai hal yang lumrah dalam bingkai globalisasi (ekonomi) yang dirayakan masa kini. Setiap pandangan yang bernada kritis terhadap dominasi asing dalam perekonomian nasional, dianggap cuma sebagai kegenitan kuno yang tidak pada tempatnya diberi ruang. Mumpung sekarang dalam suasana proklamasi, ada baiknya aspek kedaulatan (kemandirian) ekonomi ini dibahas secara jernih.
Kemandirian dan Globalisasi
Makna kemandirian memang tidak bisa diartikan suatu negara harus mencukupi seluruh kebutuhan ekonominya hanya dari sisi domestik. Apalagi, dalam iklim globalisasi sekarang, makna kemandirian tentu harus direlasikan dengan situasi yang terus berubah. Dalam konteks ini, pengertian kemandirian tidak sekadar diarahkan untuk mengeksploitasi external factor sebagai cara memecahkan masalah, tetapi justru lebih mengkaji internal factor sebagai sumber terciptanya ketidakmandirian (ketergantungan). Identifikasi internal factor tersebut akan bermanfaat dalam tiga hal: (i) memberikan pemaknaan kemandirian bukan sebagai konsep yang tertutup, tetapi tetap dengan memberikan ruang bagi adanya integrasi ekonomi; (ii) menemukan sumber-sumber penyebab ketergantungan sehingga membuat lebih fokus penyelesaiannya; dan (iii) memberikan landasan yang lebih jernih untuk mengaitkan hubungan antara kemandirian dengan semangat globalisasi.
Menyangkut yang pertama, pandangan Cardoso dan Faletto (1979), yang sudah menjadi dogma para ‘ekonom kiri revisionis’, tentang ketergantungan ekonomi suatu negara barangkali bisa membantu untuk menemukan makna yang sesungguhnya tentang kemandirian. Mereka menyatakan bahwa ketergantungan tercipta karena ketidakmampuan suatu negara untuk meningkatkan pertumbuhan kekuatan-kekuatan internal, di mana akumulasi dan ekspansi modal tidak bisa mendinamisasikan kemampuan-kemampuan sumber daya lokal di dalam sistem ekonomi. Intinya, pengambil kebijakan salah dalam memformulasikan sektor basis yang menjadi keunggulan faktor produksi (endowment) negara. Kesalahan inilah yang akhirnya tidak hanya menggiring negara untuk menerapkan strategi dan sektor unggulan yang salah, melainkan secara sistematis menyebabkan negara menjadi tergantung dari luar negeri.
Hal kedua adalah menyangkut beberapa kebijakan operasional yang justru menciptakan ketergantungan, yakni keberadaan industri padat modal yang tergantung teknologi asing dan produk impor yang digunakan untuk melayani pola konsumsi masyarakat elite. Pilihan terhadap cara-cara produksi (modes of production) dalam proses kegiatan ekonomi ini tidak mencerminkan kondisi dan potensi lokal yang seharusnya termanfaatkan, seperti tenaga kerja dan teknologi tepat guna. Terakhir, globalisasi tidak lantas dimaknai sebagai pembukaan pasar tanpa batas sehingga seluruh bidang barang/komoditas ekonomi bebas dimasuki oleh asing. Globalisasi seharusnya dimengerti sebagai kebebasan untuk melakukan pertukaran kepentingan ekonomi yang saling menguntungkan, sehingga bila terdapat praktik transaksi ekonomi yang merugikan maka salah satu pihak bebas pula untuk menggagalkan atau memproteksi kepentingan domestiknya.
Sumber Ketergantungan
Realitas di Indonesia menunjukkan bahwa sumber ketidakmandirian ekonomi setidaknya dipicu oleh tiga hal. Pertama, industrialisasi yang dijalankan tidak mengagendakan sektor basis sebagai pijakannya. Sektor pertanian sebagai sektor basis justru mengalami peminggiran secara struktural akibat kebijakan yang memberi porsi terlalu besar terhadap sektor industri dan jasa yang padat modal. Persoalan ini menjadi serius karena ternyata sektor industri dan jasa itu tidak kompetitif di pasar internasional akibat praktik perburuan rente (rent-seeker) yang dinafkahi oleh pemerintah. Seharusnya industrialisasi yang dikerjakan bertumpu kepada sektor basis, sehingga mampu mendongkrak kemajuan sektor pertanian. Saat ini Indonesia merupakan salah satu net importir terbesar komoditas pertanian di dunia, sedangkan petaninya terjerembab dalam kubang kemelaratan yang tidak bertepi. Ini merupakan ironi yang tidak termaafkan karena sumber daya ekonomi Indonesia justru ada di sektor pertanian.
Kedua, liberalisasi ekonomi kian mencengkeram perekonomian nasional, salah satunya bisa dilihat dari penetrasi investasi asing yang begitu kuat. Sebelum krisis ekonomi, Indonesia merupakan salah satu tujuan investasi asing terpenting di dunia. Sekarang, Indonesia sekurangnya masuk dalam enam besar wilayah yang menarik bagi investor asing. Sektor pertambangan, keuangan, perdagangan, dan jasa di Indonesia saat ini sebagian besar telah dikuasai oleh asing. Implikasinya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak menetes ke rakyat Indonesia. Ketiga, secara struktural pemerintah sudah tidak mandiri untuk memformulasikan kebijakan ekonomi karena ketergantungan terhadap utang asing, khususnya lewat Bank Dunia dan IMF. Di luar itu, korporasi-korporasi besar dunia juga mudah mendikte kebijakan ekonomi domestik dengan kekuatan modal yang dimiliki. Jadi, kesalahan-kesalahan itulah yang harus kita luruskan sekarang, di mana momentum proklamasi saat ini dapat dijadikan sumber spirit untuk mengangkat harga diri bangsa, khususnya, dalam pergaulan ekonomi dunia.
Jawa Pos, 14 Agustus 2007
*Ahmad Erani Yustika, PhD dosen Departemen Ilmu Ekonomi Unibraw
dan Direktur Eksekutif ECORIST (The Economic Reform Institute)