Peristiwa 67 tahun lalu itu berulang lagi kali ini. Pada 17 Agustus 1945, yang bertepatan bulan Ramadhan seperti sekarang, kemerdekaan dikumandangkan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta lewat pembacaan naskah proklamasi. Mereka itulah yang kemudian menjadi Presiden dan Wakil Presiden pertama Republik Indonesia dan dikenang sebagai dwitunggal pahlawan proklamasi. Seperti dikatakan Soekarno, kemerdekaan (politik) bukanlah tujuan, tetapi hanyalah sebagai “jembatan emas†untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Tesisnya, tidak mungkin keadilan ditegakkan dan kemakmuran ditunaikan bila secara politik dijajah oleh bangsa lain. Kemerdekaan politik memberi otoritas negara membentuk pemerintahan yang berdaulat, yang tugas utamanya tak lain adalah menghadirkan keadilan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Tidak aneh bila dalam Sila 5 Pancasila dinyatakan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia†dan dalam Pembukaan UUD 1945 ditulis “untuk memajukan kesejahteraan umumâ€.
Paradoks Hasil Pembangunan
Inilah pertanyaan klise yang diulang setiap tahun: Apakah kemerdekaan politik telah mengantarkan bangsa ini meraih impian keadilan dan kesejahteraan ekonomi? Jika ditanyakan kepada pemerintah pasti akan dijawab sudah, meski ditambahkan dengan catatan perlu ada perbaikan terus-menerus. Pemerintah pasti punya argumen dalam memberikan jawaban tersebut, sebab ada hasil fisik yang bisa ditunjukkan maupun dasar nirkasat mata yang dapat disampaikan. Misalnya, ukuran ekonomi negara makin lama kian besar, bahkan masuk dalam jajaran G-20 (dari besaran PDB). Pertumbuhan ekonomi selalu di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia, plus pendapatan per kapita yang terus meningkat tiap tahun (sekarang berada di kisaran US$ 3450/kapita/tahun). Secara fisik rumah penduduk terus membaik, gedung pencakar lain tampak sama dengan di negara-negara maju, jalan kian mudah ditemui, industri terus dibangun dan beproduksi, dan kantor-kantor bisnis hidup nyaris 24 jam di kota-kota besar. Itulah sebagain pendukung dari klaim pemerintah tersebut.
Jadi, jika dilihat dari komparasi masa lalu, rasanya tidak gampang menolak pandangan pemerintah itu. Namun, data tak pernah tunggal untuk menjelaskan suatu realitas. Apabila dicamkan esensi dari cita-cita keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi, maka terdapat data lain yang bisa diunggah untuk membalik jawaban pemerintah. Keadilan ekonomi bisa ditelisik dari proporsi kue yang bisa dibagi antarkelompok, antarsektor, dan antarwilayah. Nyatanya, data-data yang tersedia justru menerbitkan paradoks yang mengenaskan. Gini rasio (GR) yang mengukur ketimpangan pendapatan makin meningkat. Pada 2011 angka GR menembus 0,41, yang terus memburuk dalam 7 tahun terakhir. Sektor pertanian dan industri (yang dikenal sebagai sektor riil) yang menjadi penyerap terbesar tenaga kerja pertumbuhan merosot ditinggalkan oleh sektor lainnya (sektor nontradeable). Lebih mengerikan lagi, Pulau Jawa dan Sumatera terus memperbesar jatah PDB hingga mencapai besaran sekitar 82%, sisanya (18) dibagi untuk 5 pulau besar lainnya.
Bagaimana halnya dengan kesejahteraan ekonomi? Angka kemiskinan diberitakan terus turun, tapi dengan menggunakan standar yang sangat rendah, di mana pada 2012 dipatok pada angka Rp 248.000/bulan/kapita. Jika menggunakan ukuran ini, jumlah orang miskin sekitar 27 jiwa. Tapi bila patokan angkanya dinaikkan menjadi Rp 298.448/bulan/kapita (sekitar Rp 10.000/hari), maka angka kemiskinan melonjak menjadi 55,52 juta jiwa (22,8%). Bila yang disebut sejahtera adalah yang berpendapatan sekitar Rp 20.000/hari, maka jumlahnya sekitar 120 juta jiwa. Artinya, penduduk yang tidak sejahtera jumlahya juga sekitar Rp 120 juta jiwa (50%). Konstitusi juga mengamanahkan negara untuk memberikan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Tapi, bagaimana mungkin itu tercapai jika 62,71% dari total tenaga kerja bekerja di sektor informal dan mereka yang bekerja kurang dari 15 jam/minggu jumlahnya masih 12,5% dari total tenaga kerja? Inilah data-data lain yang menerbitkan kesimpulan terbalik dari pernyataan pemerintah.
Mandat Konstitusi
Mengapa data-data di atas tidak berjalan satu lini dan malah terkesan paradoks? Pertama, kemerdekaan politik tidak bisa ditransformasikan menjadi modal kedaulatan untuk mengatur dirinya sendiri. Sejarah penjajahan adalah kisah penaklukan otoritas politik sehingga daerah jajahan mengabdi seluruhnya kepada rumusan penjajah. Namun, jika kemudian kemerdekaan politik tidak mengubah wajah itu, maka secara esensial sebetulnya hanya ada kemerdekaan de jure, tapi de facto sifat penjajahan itu terus melekat. Pada level pembuatan UU, teramat banyak regulasi yang didesain oleh negara atau lembaga asing, bahkan kebijakan teknis (semacam reformasi birokrasi atau penanganan kemiskinan) harus dituntun dan dibina oleh lembaga multilateral. Dalam aras perdagangan internasional situasinya menjadi lebih telanjang, sebab yang mengatur boleh tidaknya kebijakan proteksi/tarif/subsidi adalah lembaga perdagangan dunia, di mana pemerintah mesti tunduk terhadap aturan itu meskipun merugikan ekonomi dalam negeri.
Kedua, pemerintah salah baca dalam memahami konsep transformasi ekonomi. Literatur ekonomi dibaca secata tekstual dengan pemahaman bahwa sektor industi dan jasa yang memanfaatkan tenologi canggih merupakan masa depan perekonomian. Padahal transformasi ekonomi tak lain adalah memodernisasi ekonomi dengan tetap bertumpu kepada sektor basis (dalam konteks Indonesia adalah sektor pertanian secara luas). Implikasinya, ketika pembangunan ekonomi digiring ke sektor industri dan jasa yang tak beralas kepada sektor basis, maka perekonomian menjadi tergantung kepada bahan baku impor, daya saing rendah, dan sedikit pelaku ekonomi yang bisa terlibat dalam pembangunan. Inilah yang terjadi di sini, ketika pertumbuhan ekonomi disokong oleh sektor non-tradeable yang tak berpijak kepada sektor basis sehingga daya saing ekonomi jatuh, pelaku sektor informal meledak (karena tak dapat masuk ke sektor formal yang tidak banyak membuka lapangan kerja dan syarat keterampilan tinggi), dan menjadi sumber ketimpangan pendapatan/sektoral.
Ketiga, pemerintah diberi kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan dan kesejahteraan publik, tapi kewenangannya untuk menguasai sebagian besar sumber daya ekonomi dipreteli lewat kebijakan privatisasi. Anggapan pelayanan publik dapat dilakukan oleh sektor swasta sebagian barangkali benar, tapi dalam banyak kisah tesis itu juga banyak melesetnya. Itulah sebabnya dalam Pasal 33 UUD 1945 negara diberi ruang untuk menguasai sebagian sumber daya ekonomi, yakni sumber daya alam, sektor strategis, dan aktivitas yang menguasai hajat hidup orang banyak. Selebihnya, silahkan sektor swasta melakukan kegiatan ekonomi seluas-luasnya (khususnya koperasi dan UMKM), tentu dengan mengikuti regulasi yang disusun pemerintah. Oleh sebab itu, pemerintah mesti membangun konsensus baru agar paradoks itu tidak langgeng: pelayanan publik mesti diiringi dengan penguasaan sebagian sumber daya ekonomi. Tiga hal inilah yang sekurangnya menjadi duri kegagalan pemerintah menciptakan keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi sebagai mandat proklamasi dan konstitusi.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef