Perekonomian Indonesia pada 2009 sangat menarik dicermati sekurangnya karena dua hal. Pertama, mulai akhir 2008 terjadi krisis finansial yang bermula dari AS dan menjalar kemana-mana, termasuk Indonesia. Krisis finansial tersebut sekarang sudah bertransformasi menjadi krisis nilai tukar dan ekonomi sehingga dampak yang ditimbulkan menjadi luar biasa, bahkan diperkirakan lebih hebat ketimbang krisis ekonomi 1997/1998. Pada 2009 diprediksi krisis ekonomi ini akan memberikan dampak yang paling besar (full impact) terhadap perlambatan ekonomi dunia, tidak terkecuali Indonesia. Kedua, tahun depan merupakan puncak momentum politik di Indonesia, di mana pemilihan legislatif dan presiden (pilpres) akan berlangsung secara beruntun. Perayaan politik ini berpotensi membuat penyelenggara negara abai terhadap urusan rakyat, termasuk krisis ekonomi, sehingga peluang menyelesaikan krisis pada 2009 menjadi semakin mengecil.
Proyeksi Makroekonomi
Secara umum proyeksi ekonomi hanya menyentuh variabel-variabel makroekonomi, misalnya pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, inflasi, tingkat suku bunga (BI rate), dan harga minyak (berkaitan dengan subsidi yang mesti dianggarkan dalam APBN). Di luar itu, yang amat penting disampaikan adalah jumlah angka pengangguran dan kemiskinan, sebagai konsekuensi dari proyeksi-proyeksi makroekonomi yang telah dibuat. Variabel dasar makroekonomi di atas menggambarkan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang bakal dicapai negara setahun mendatang. Sungguh pun begitu, tidak lantas proyeksi yang bagus/buruk terhadap variabel makroekonomi tersebut lantas menggaransi kinerja bagus/buruknya mikroekonomi. Hal ini tidak lepas dari proses pencapaian kondisi makroekonomi itu. Jika proses pencapaian kinerja makroekonomi disertasi dengan proses yang benar (artinya mengandaikan keterlibatan sebagian besar pelaku ekonomi), maka situasi mikroekonomi juga akan baik.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional pada 2009 diprediksi hanya akan berkisar 4-5%. Pihak yang pesimis menyebut faktor perlambatan ekonomi dunia dan problem nilai tukar sebagai penyebab anjloknya pertumbuhan ekonomi. Perlambatan ekonomi dunia akan menekan potensi ekspor Indonesia, sehingga dipastikan kinerja ekspor bakal merosot pada tahun depan. Sementara itu, krisis nilai tukar menyebabkan biaya melakukan impor menjadi mahal. Masalahnya, sebagian (besar) industri di Indonesia sangat tergantung dari bahan baku impor. Implikasinya, kemampuan produsen untuk mendatangkan bahan baku menjadi melemah sehingga mengganggu proses produksi. Dua hal inilah yang menjadi sebab pertumbuhan ekonomi hanya akan berada pada level 4%. Sedangkan pihak yang agak optimis, termasuk Indef, melihat krisis kali ini sebetulnya masih bisa diselamatkan dengan mengandalkan konsumsi rumah tangga dan industri yang beroperasi pada pasar domestik.
Jika pemerintah dapat menginjeksi kebijakan ekonomi yang memberi arah dunia usaha untuk mengeksplorasi pasar domestik, sambil pada saat yang bersamaan menyantuni korporasi yang berorientasi ekspor dan berbahan baku impor, maka pertumbuhan ekonomi dapat dipacu menjadi sekitar 4,8 – 5,0%. Salah satu kebijakan yang perlu diterobos adalah keberanian pemerintah (BI) melakukan relaksasi tingkat suku bunga dengan jalan menurunkan BI rate. Penutunan BI rate menjadi 9,25% minggu lalu merupakan langkah terpuji yang perlu diteruskan secra gradual pada bulan-bulan mendatang. Jika rata-rata BI rate pada 2009 bisa diturunkan menjadi 7,5 -8%, maka berpotensi menggairahkan dunia usaha untuk mengambil opsi investasi. Oleh karena itu, faktor pencapaian pertumbuhan ekonomi tersebut akan sangat tergantung kepada kebijakan pemerintah di sisi moneter, walaupun tentu saja kebijakan fiskal (misalnya insentif perpajakan) juga mengambil peranan yang vital.
Pengangguran dan Ledakan Sosial
Variabel lain yang tidak kalah penting adalah nilai tukar dan inflasi. Sampai saat ini pemerintah (BI) masih sangat memfokuskan kebijakannya untuk mengatasi nilai tukar dan inflasi ini. Sayangnya, efektivitas kebijakan moneter ini menimbulkan pertanyaan besar. Pada 2009 nampaknya nilai tukar akan mendapatkan titik keseimbangan baru yang lebih tinggi dari rata-rata 2008. Kemungkinan besar titik keseimbangan baru ini akan berada pada level Rp 11.500 – Rp 12.000,-/US$. Angka itu merupakan keseimbangan dari tingkat daya saing komoditas Indonesia dan kemampuan daya beli korporasi untuk mendatangkan bahan baku. Sedangkan inflasi nampaknya akan kembali kepada tradisi single digit, yakni sekitar 7,5%. Pencapaian inflasi ini tentu saja diakibatkan oleh relatif lenyapnya sumber terpenting inflasi pada 2008, yakni kenaikan minyak dan pangan. Jika level inflasi ini dapat dicapai, maka ruang untuk menurunkan BI rate juga kian terbuka lebar.
Deskripsi di atas menunjukkan bahwa situasi ekonomi pada 2009 sebetulnya tidak terlalu muram. Tapi, itu semua baru akan terpenuhi bila pemerintah konsentrasi untuk memulihkan perekonomian. Soalnya, seperti disinggung di muka, perayaan politik berpotensi membuyarkan seluruh pencapaian itu. Sialnya, tidak mudah memprediksi faktor politik tersebut, sehingga di sini politik menjadi semacam ”black box” yang akan menentukan masa depan pemulihan ekonomi. Selanjutnya, pemerintah harus menyediakan ruang untuk mengatasi pembengkakan pengangguran. Secara proyektif, diperkirakan akan terjadi PHK antara 1-2 juta pada 2009. Ditambah dengan angkatan kerja baru, maka pada 2009 akan muncul tambahan sekitar 4 juta pengangguran baru. Bila ini tidak ditangani dengan cerdas, bukan saja akan menyulitkan pemulihan ekonomi, namun juga dapat menjadi sumber instabilitas sosial. Sejarah memberi pelajaran, kaum penganggur yang disulut oleh krisis ekonomi di tengah turbulensi politik berpotensi menjadi ledakan sosial.
Seputar Indonesia, 30 Desember 2008
*Ahmad Erani Yustika, Ketua Program Studi Magister
Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef