Turbulensi ekonomi di masa depan akan makin mudah dialami seiring kian rapatnya relasi ekonomi antarnegara, baik di sektor perdagangan, keuangan, maupun ketenagakerjaan. Krisis yang dialami oleh satu atau beberapa negara dengan cepat merembet ke negara lain akibat hubungan tali-temali yang pekat tadi. Tidak mudah untuk mengisolasi atau mencegah dari krisis ekonomi, sehingga mulai sekarang (bahkan sudah terjadi dalam satu dekade belakangan) sampai masa mendatang kinerja ekonomi suatu negara akan sangat dipengaruhi oleh tiga faktor ini: kondisi ekonomi global, kekuatan fundamental ekonomi domestik, dan kepiawaian merumuskan kebijakan ekonomi domestik. Kondisi ekonomi global merupakan faktor eksogen/eksternal yang sulit untuk dikendalikan (paling mungkin hanya sekadar diantisipasi), sedangkan faktor fundamental ekonomi dan kepiawaian merumuskan kebijakan merupakan faktor endogen yang dapat dimitigasi secara lebih leluasa oleh pemerintah.
Prospek Ekonomi Dunia
Ekonomi AS dan Eropa sampai tahun depan masih belum bisa diharapkan sebagai penopang perekonomian dunia, termasuk memberikan kesempatan Indonesia untuk melakukan penetrasi ekspor. Pada 2013 memang perekonomian AS dan beberapa negara Eropa diproyeksikan akan mengalami kenaikan pertumbuhan ekonomi. Hampir seluruh negara di kawasan Eropa pertumbuhannya diperkirakan positif, kecuali Italia. Negara-negara maju Eropa diestimasi tumbuh 1,1% (dibanding proyeksi 2012Â minus 0,1%), Inggris 2,0%, dan Swedia 2,3% (IMF, 2012). AS sendiri mungkin hanya akan tumbuh sekitar 2,5% pada tahun depan. Jepang dan Korsel pada 2013 diperkirakan juga tumbuh lumayan tinggi, sehingga bisa menjadi penyumbang yang berarti bagi pergerakan ekonomi dunia. Poinnya, meskipun di AS dan Eropa sudah mengalami perbaikan ekonomi, namun masih belum mampu mengembalikan perannya seperti semula, yakni sebagai lokomotif ekonomi global. Situasi ini nampaknya akan bertahan sampai 2015.
Situasi yang agak berbeda terjadi di kawasan Asia dan Asia Pasifik. Secara umum, Asia Pasifik pada 2013 diperkirakan akan tumbuh cukup mengesankan. Jepang diestimasi tumbuh 1,7%, Korsel 4%, China 8,8%, India 7,3%, Taiwan 4,7, Hongkong 4,2%, Indonesia 6,6%, Thailand 7,5%, dan Vietnam 6,3%Â (IMF, 2012). Komposisi pertumbuhan ekonomi semacam itu cukup memberikan gambaran yang prospektif terhadap pergerakan ekonomi di Asia, meskipun belum setinggi pada 2010 dan 2011. Data itu juga menunjukkan bahwa negara-negara tersebut pertumbuhannya lebih tinggi dibandingkan proyeksi 2012, kecuali Jepang. Dua sub-kawasan yang pertumbuhannya paling menggiurkan adalah Asean dan emerging markets (Korsel, Taiwan, Hongkong, dan Singapura). Dengan deskripsi ini, diharapkan negara-negara tersebut akan memegang peranan kunci dalam perubahan konstelasi ekonomi dunia, setidaknya menggantikan peran AS dan Eropa untuk sementara waktu. Tentu saja, beberapa negara Amerika Latin dan Timur Tengah tidak bisa diabaikan.
Bagaimana halnya dengan Asean sendiri? Seperti sudah disinggung di muka, kawasan ini juga merupakan titik pergerakan ekonomi yang penting. Sekurangnya terdapat lima negara yang cukup besar di wilayah ini, yaitu Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Pendapatan per kapita yang paling tinggi memang dipegang Singapura, tapi ukuran pendapatan negara (PDB) masih dipegang oleh Indonesia, diikuti Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina karena faktor jumlah penduduk. Di wilayah Asean ini daya saing ekonominya juga bagus, sekurangnya hal itu tercermin dari pencapaian Singapura, Malaysia dan Thailand (juga Brunei). Data dari World Economic Forum 2012 menyebutkan Singapura ada di peringkat 2 dunia dalam daya saing ekonomi, Malaysia 25, Brunei 28, dan Thailand 38. Sayangnya, daya saing Indonesia justru melorot pada tahun ini menjadi ke peringkat 50 (tahun lalu 46). Fakta ini menunjukkan Asean bukan saja bagus prospek pertumbuhannya, tapi juga kuat daya saing ekonominya.
Di luar itu, pergerakan ekonomi dunia juga sedikit mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Sebagian ekonom sudah memberikan kompas negara-negara yang harus diperhitungkan peranannya dalam percaturan ekonomi global. Beberapa tahun terakhir akronim BRIC sangat populer, sehingga menempatkan Brazil, Rusia, India, dan China dalam radar ekonomi yang strategis. Realitas itu sebagian memang tak bisa dipungkiri karena ternyata empat negara tersebut pertumbuhannya cukup tinggi dan telah mengalami transformasi ekonomi yang luar biasa, khususnya di Rusia dan China. Dua negara itu telah menerima globalisasi dan liberalisasi ekonomi (nyaris) secara penuh, sehingga jejak sebagai bekas negara sosialis tak banyak kelihatan. Namun, September lalu peraih Nobel Ekonomi, Nouriel Roubini, memunculkan akronim baru yang berpotensi menggeser BRIC, yaitu MIST (Meksiko, Indonesia, South Korea/Korsel, dan Turki). Tentu saja warta ini melegakan, tapi harus disikapi secara jernih agar tak menjadi jebakan.
Kualitas Pembangunan Ekonomi
Di luar dugaan, perekonomian nasional sampai Semester I 2012 tetap tangguh di tengah krisis ekonomi global. Memang ada problem dengan neraca perdagangan sehingga sampai Agustus 2012 surplus baru pada kisaran US$ 400 juta. Pada April – Juli 2012 neraca perdagangan bahkan defisit. Pada krisis 2009 lalupun (saat pertumbuhan ekonomi hanya 4,5%) neraca perdagangan tidak mengalami situasi seperti ini. Tapi perlambatan ekspor itu bisa ditutup oleh pertumbuhan investasi yang fantastis, daya beli rumah tangga yang tetap kuat, dan pengeluaran pemerintah yang stabil. Sehingga, sampai Semester I 2012 pertumbuhan ekonomi masih bertengger pada angka 6,4%. BKPM pada awal Oktober 2012 sudah mengumumkan pertumbuhan investasi sampai Triwulan III (September) 2012, yang secara rata-rata (baik investasi dalam negeri maupun asing) tumbuh sekitar 27% dibanding tahun lalu (pada periode yang sama). Sampai akhir tahun diperkirakan pertumbuhan ekonomi sekurangnya berada pada level 6,3%.
Dengan panduan seperti itu, maka proyeksi pemerintah yang mematok pertumbuhan ekonomi 6,8% pada tahun depan bukanlah hal yang mustahil dicapai (meski saya sendiri memperkirakan angka yang realistis pada kisaran 6,5-6,6%). Tanpa ada perubahan situasi ekonomi global yang kelewat dramatis, hampir pasti pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih baik. Hal itu terjadi mengingat adanya perbaikan ekonomi dunia yang memungkinkan perdagangan (ekspor) bisa lebih meningkat. Investasi juga akan tetap tinggi sebab para investor global belum akan melirik wilayah AS dan Eropa sebagai tempat investasi yang laik tahun depan. Persaingan investasi akan diperebutkan oleh negara-negara Asia, seperti China, India, Asean, dan emerging markets. Di samping itu, konsumsi rumah tangga juga masih kuat, bahkan pada 2012 ini Indonesia meraih peringkat tertinggi indeks kepercayaan konsumen dengan nilai 120, mengalahkan India, Filipina, Arab Saudi, dan lain-lain (Nielson, IMF, WEO, 2012).
Tapi, seperti yang sudah kerap diungkapkan, pertumbuhan ekonomi hanya menunjukkan sebagian kecil dari kualitas pembangunan ekonomi. Pada titik inilah banyak masalah yang masih mendera perekonomian nasional. Isu ketimpangan pembangunan (antarwilayah, sektoral, dan golongan) menjadi masalah serius. Pembangunan ekonomi dan investasi hanya menumpuk di Jawa (dan Sumatera) tanpa tanda-tanda akan berubah dalam jangka pendek. Sektor ekonomi yang pertumbuhannya mentereng sebagian besar adalah nontradeable (telekomunikasi, pengangkutan, keuangan, perdagangan, jasa, konstruksi, dan lain sebagainya), sementara sektor riil (tradeable) pertumbuhannya stagnan. Sektor pertanian tidak pernah lagi tumbuh di atas 4%, bahkan pernah di bawah 2%. Hal yang sama juga terjadi di sektor industri sehingga sumbangannya terhadap PDB tinggal 24%, padahal pada 2005 sempat 28%. Ketimpangan pendapatan juga kian menganga, untuk pertama kalinya Gini Rasio (ukuran ketimpangan pendapatan) pada 2011 menyentuh 0,41.
Di luar itu masih banyak lagi persoalan yang mengemuka, misalnya pembangunan infrastruktur yang tersendat, pembebasan lahan yang bertele-tele, perizinan yang masih lama dan mahal sehingga membuat peringkat daya saing dan iklim bisnis Indonesia merosot. Peranan sektor keuangan juga masih dangkal, hal ini bisa dilihat dari rasio kredit terhadap PDB yang hanya di kisaran 36%, jauh dibandingkan Malaysia (126%), Vietnam (120%), Thailand (113%), dan bahkan Filipina (38%) [ADB, 2011]. Di sisi lain, laba perbankan luar biasa besar, meningkat dramatis tiap tahun. Hal itu antara lain disebabkan marjin bunga bersih (net interest margin/NIM) yang amat tinggi, sekitar 5-6%. Padahal di kawasan Asean, NIM tak lebih dari 2%. Oleh karena itu, problem-problem itu menjadi pekerjaan rumah utama pemerintah jika menginginkan kualitas pembangunan ekonomi menjadi lebih baik. Jika hal itu tidak bisa dilakukan, maka pertumbuhan ekonomi yang dicapai hanya menjadi perayaan lapisan atas masyarakat Indonesia. Jangan sampai hal tragis ini terjadi!
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef