Akhir minggu ini ritual umat muslim tiap tahun telah tiba, yakni datangnya bulan puasa. Kaum muslim tentu bahagia menyambut kehadiran bulan ramadhan (dan lebaran) ini, yang tidak hanya dimaknai sebagai ritual keagamaan tapi juga rutinitas sosial pulang kampung menemui handai taulan. Namun, kegembiraan itu juga selalu disertasi kecemasan tiap tahun akibat lompatan harga-harga (pangan) yang tak bisa dibendung. Kali ini, hal serupa terulang lagi nyaris tanpa perubahan apapun. Harga daging, gula, susu, kedelai, cabai, jagung, dan lain-lain dilaporkan meningkat drastis menjelang ramadhan. Rumah tangga mesti menyiasati kenyataan ini dengan pengelolaan keuangan yang esktra ketat agar tidak jebol, lebih-lebih di ujung puasa nanti mereka harus menyisihkan dana yang tak kecil untuk mudik lebaran. Kenyataan tahunan ini selalu menerbitkan pertanyaan: di manakah kehadiran pemerintah?
Segi Tiga Masalah
Problem kenaikan harga pangan ini sebetulnya sudah diketahui dengan baik sebabnya oleh pemerintah, sehingga penanganan terhadapnya secara teoritis mudah dilakukan. Tiga segi tiga utama berikut merupakan sumbu peledak kenaikan harga tahunan, yakni ketergantungan impor, konsentrasi distribusi, dan lemahnya peran stabilisasi Bulog. Menyangkut ketergantungan impor, sejak liberalisasi ekonomi yang dipilih pemerintah (akibat tekanan IMF) usai krisis ekonomi 1997/1998 secara pasti diikuti dengan penurunan produksi sejumlah komoditas penting di sektor pangan, seperti jagung, kedelai, daging, susu, garam, dan lain sebagainya. Liberalisasi pertanian menyebabkan insentif petani merosot sehingga implikasinya produksi merosot di tengah situasi permintaan yang terus meningkat. Tidak bisa dihindari, impor merupakan jalan keluar yang harus diambil pemerintah. Tentu saja, fleksibilitas jumlah pasokan menjadi tidak bisa diharapkan sehingga memicu inflasi.
Setelah itu, ketergantungan impor disempurnakan dengan tingkat konsentrasi distribusi pelaku atas beberapa komoditas pangan, semacam gula, kedelai, jagung, daging, dan (juga) beras. Penguasaan jalur distribusi yang oligopolis tersebut bersumber dari dua hal: tata niaga domestik yang konsentrik dan jalur impor. Tata niaga domestik yang terkonsentrasi itu, misalnya, sangat terasa di komoditas gula, di mana produk tebu setelah digiling di pabrik gula langsung ditangkap oleh distributor besar (yang jumlahnya tak lebih dari 9 perusahaan). Sisi lainnya, hampir semua impor komoditas pangan juga hanya dikuasai oleh segelintir pelaku melalui lisensi impor yang mereka dapat. Bahkan, bisnis impor pangan ini sudah menjadi “political rent-seekingâ€, seperti kasus impor daging beberapa waktu lalu. Implikasi dari semua ini, barang hanya mengerucut ke sedikit pemain yang gampang mengontrol pasokan dan harga.
Terakhir, dua sumber di atas sebetulnya masih dapat disumbat bila pemerintah memiliki badan penyangga yang memiliki kekuatan besar menstabilisasi pasokan dan harga. Sayangnya, Bulog yang diserahi untuk fungsi tersebut sekarang sudah merosot kemampuannya karena dipreteli otoritasnya. Saat ini Bulog hanya menangani komoditas beras (dulunya 9 bahan pokok), itupun dengan kapasitas yang tidak besar. Dalam standar internasional, sekurangnya cadangan komoditas pangan (khususnya beras) tidak boleh kurang dari 20% dari kebutuhan domestik agar stabilitas pasokan dan harga mudah dikerjakan. Tapi, Bulog rata-rata cadangan berasnya kurang dari 10%, bahkan kadang hanya 4% saja. Angka cadangan beras ini jauh lebih rendah ketimbang negara-negara Asean lainnya [Asean Food Security Information System, 2011) Dalam situasi seperti sekarang, jelas sangat sulit bagi Bulog berperan optimal mengendalikan harga.
Struktur Pasar Distribusi
Menyimak problem struktural di atas (di luar masalah teknis semacam penetapan harga pokok, infrastruktur, dan operasi pasar) sangat dibutuhkan agenda perubahan kebijakan yang sistematis untuk mengurai soal pasokan dan harga komoditas pangan nasional. Paling mendasar adalah liberalisasi sektor pertanian harus dihentikan karena ini menjadi malapetaka bagi kemandirian dan kedaulatan pangan. Pemerintah bisa mendayagunakan seluruh potensi yang dimilikinya, termasuk BUMN, untuk menguatkan kembali sektor pertanian dari hulu sampai hilir. Sekarang untuk bibit saja ketergantungan terhadap impor nyaris absolut, juga merembet ke sektor hilirnya. Pemerintah harus menyadari situasi di lapangan telah amat mencemaskan, sehingga tidak bisa ditangani lagi oleh kebijakan-kebijakan “teknikalâ€. Selama kerangka kebijakan ini tidak diambil, maka jangan diharap kegaduhan pasokan dan harga dapat diatasi.
Berikutnya, konsentrasi struktur pasar distribusi harus dipecah dengan memanfaatkan dua jalur. Pertama, pemain domestik diperbanyak dengan jalan mengatur pembatasan penguasaan barang pada segelintir pelaku/kelompok. Penyebaran ini diperlukan agar kemampuan kontrol pasokan dan harga tidak ditentukan oleh segelintir pemain, sehingga pasar tidak gampang diombang-ambingkan. Kedua, Bulog diperluas lagi kapasitasnya tidak hanya beras, tetapi beberapa komoditas penting lainnya disertasi dengan anggaran yang memadai. Bahkan, impor komoditas pangan yang semula dilakukan sektor swasta, sudah saatnya sebagian dikembalikan kepada Bulog. Langkah ini akan bermanfaat dalam dua hal langsung: mengurangi penguasaan swasta (yang dapat digunakan untuk mengontrol pasokan) dan mereduksi praktik rente politik. Dengan langkah ini, rakyat tidak lagi dihantui prahara harga setiap kali menyongsong bulan puasa.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef