Pemerintah dan DPR telah menyepakati asumsi makroekonomi sebagai dasar penyusunan RAPBN 2012. Meskipun asumsi makroekonomi tersebut telah dibahas secara mendalam dan memertimbangkan berbagai faktor secara komprehensif, namun masih terdapat beberapa celah yang membuat rencana anggaran itu tidak dapat diimplementasikan sesuai target. Beberapa asumsi makroekonomi yang sudah disepakati itu adalah: pertumbuhan ekonomi 6,6-7%; inflasi 3,5-5,5%; kurs (rupiah/US$) 9000-9300; SBI 3 bulan 5,5-7,5%; harga minyak mentah US$ 75-95; dan produksi minyak 950-970 ribu barrel per hari. Secara umum, sebagian asumsi itu terasa telah mengadaptasi perkembangan situasi ekonomi dunia, seperti asumsi nilai tukar dan harga minyak. Tapi, asumsi lainnya perlu mendapatkan perhatian yang saksama karena berpotensi mengalami ketidaksesuaian dengan lingkungan ekonomi.
Masalah Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi tentu menjadi sorotan utama dalam setiap pembahasan RAPBN. Pertumbuhan ekonomi bukan hanya menjadi pemandu alokasi RAPBN ke masing-masing sektor, namun juga menunjukkan sejauh mana pemerintah optimis/pesimis terhadap perekonomian setahun yang akan datang. Prospek pertumbuhan ekonomi 2012 sebetulnya cukup bagus, seiring dengan pemulihan ekonomi global yang hampir mencapai titik optimalnya. AS, Eropa, dan Jepang diperkirakan tahun depan kian bagus kinerja ekonominya, meskipun beberapa ganjalan masih harus dihadapi (misalnya kasus Yunani di Eropa). Oleh karena itu, mestinya target pertumbuhan ekonomi dapat didongkrak lebih tinggi lagi, sekitar 7,5%. Negara-negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand pada tahun lalu saja (2010) sebagian sudah membukukan pertumbuhan ekonomi di atas 8%.
Hambatan memanfaatkan momentum menggenjot pertumbuhan ekonomi memang berasal dari sisi domestik sendiri. Investasi sebagai pemicu penting pertumbuhan ekonomi gagal mencapai titik tertinggi karena rintangan infrastruktur dan aneka soal yang berkaitan dengan buruknya kinerja birokrasi, seperti korupsi, inefisiensi birokrasi, dan ketidakpastian regulasi. Hal ini bisa dikonfirmasi dari masih lamanya waktu mengurus izin usaha dan biaya perizinan yang mahal. Tanpa perbaikan infrastruktur dan efisiensi birokrasi sulit mengharapkan investasi bekerja secara maksimal menyumbang pertumbuhan ekonomi. Terlepas dari itu, seandainya pertumbuhan ekonomi hanya sampai 7% tetap bisa disyukuri bila struktur pelontarnya berasal dari sektor riil (pertanian dan industri). Jika kedua sektor ini bekerja dengan baik, maka pertumbuhan akan bermutu sebab berpotensi besar mengurangi kemiskinan dan pengangguran.
Dengan pertimbangan tersebut memang tahun depan kurang realistis mengharapkan pertumbuhan ekonomi di atas 7%, bukan karena prospeknya tidak bagus, melainkan sebab adanya kendala internal (infrastruktur dan birokrasi). Dengan begitu, sangat diharapkan kepada (khususnya) DPR untuk mengkritisi secara mendalam alokasi belanja RAPBN 2012. DPR harus memastikan pertumbuhan ekonomi maksimal 7% itu tidak memiliki kualitas yang buruk. Di sini alokasi belanja bagi pengembangan infrastruktur, pertanian, industri, dan pelaku usaha kecil (UMKM) perlu mendapatkan prioritas di atas sektor atau pelaku ekonomi yang lain. Tema konsolidasi dan penguatan sektor riil harus benar-benar tampak, sehingga pertumbuhan ekonomi yang dicapai memiliki koherensi dengan pengurangan kemiskinan dan pengangguran secara meyakinkan, bukan hanya tambal sulam seperti praktik selama ini.