Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya membuat kebijakan yang lumayan tegas dalam soal pengaturan sektor keuangan. Pertama, kebijakan pembatasan suku bunga simpanan maksimal 225 basis poin dari BI rate (saat ini BI rate 7,5%). Bank BUKU (Bank Umum Kegiatan Usaha) III antara Rp 5 – 30 triliun maksimal suku bunga 9,75% dan Bank BUKU IV (di atas Rp 30 triliun) maksimal 9,50%. Di luar itu, sebagai konsekuensi pembatasan suku bunga simpanan, OJK juga meminta perbankan menurunkan bunga kredit segera setelah kebijakan pembatasan bunga simpanan diterapkan. Kedua, kebijakan pengawasan terintegrasi perusahaan konglomerasi sektor keuangan akan diterapkan mulai tahun depan. Meskipun kebijakan ini belum disusun secara penuh, namun sekurangnya sudah ada rencana terinci dan terjadwal sehingga tahun depan lekas dieksekusi. Masyarakat laik menyambut kabar gembira ini karena telah lama operasi sektor keuangan dibiarkan berlaku secara leluasa sehingga menghisap nasabah dan perekonomian secara keseluruhan.
Kompetisi Bank
Operasi perbankan di Indonesia selama ini secara umum dicirikan dengan deskripsi berikut. Meskipun jumlah bank sangat banyak, mencapai 120 bank, namun sebetulnya hanya dikuasai oleh 10 bank saja. Sepuluh besar terbesar menguasai sekitar 62% dari total aset bank (juga dana pihak ketiga/DPK dan penyaluran kredit). Dengan situasi ini, bisa dibayangkan persaingan antarbank menjadi sangat berat, khususnya bagi bank menengah dan kecil. 10 bank tersebut dengan mudah menjadi “price-makerâ€, sehingga bank-bank kecil harus mengikuti arah kebijakan bank besar, meskipun dengan napas tersengal-sengal. Berikutnya, struktur DPK di perbankan sangat timpang. Sebanyak 0,05% rekening (yang memiliki simpanan di atas Rp 5 miliar) menguasai 45% dana pihak ketiga, sedangkan 97,5% rekening (dengan simpanan maksimal Rp 100 juta) hanya menguasai 15% dari total DPK). Akibatnya, bank berkompetisi amat sengit untuk menarik nasabah kakap (di atas Rp 5 miliar).
Bank-bank besar mempunyai posisi yang menguntungkan karena dapat memberikan aneka insentif kepada nasabah untuk menyimpan uangnya di bank tersebut. Mereka dapat menggelontorkan rupa-rupa hadiah dan iklan yang agresif untuk memulut para nasabah. Mereka bisa melakukan itu karena akumulasi laba yang sudah diperam selama ini. Di luar itu, dengan profit yang besar pula mereka terus menambah fasilitas atau infrastruktur perbankan (yang memang positif bagi nasabah), seperti pembayaran yang cepat, kantor yang nyaman, atau layanan ATM yang terserak di banyak sudut kota. Akibatnya, bank-bank kecil kian tersudut mengikuti pola operasi bank besar. Sementara itu, pertarungan menarik nasabah kakap biasanya dilakukan dengan memberikan bunga khusus (yang tinggi). Implikasinya, bank juga harus mengenakan bunga kredit yang tinggi pula untuk menutup biaya bunga simpanan itu, sehingga secara keseluruhan ekonomi menjadi berbiaya tinggi.
Sekadar ilustrasi, di Singapura, Malaysia, dan Thailand suku bunganya hanya sekitar 2-4%. Ini berarti suku bunga di Indonesia lebih tinggi 3 kali lipat. Hal ini masih ditambah dengan ketegaan bank yang mengenakan NIM (net interest margin) sekitar 6%, padahal di negara tetangga di bawah 3%. Praktik inilah yang membuat laba perbankan di Indonesia sangat tinggi, meskipun kredit yang disalurkan tidak terlalu besar. Para ekonom sudah berteriak lama soal ini, serta tentu saja para nasabah (khususnya investor). Investor terbebani dengan biaya bunga tinggi sehingga ongkos investasi menjadi mahal. Sementara itu, para ekonom melihat praktik tersebut membuat pertumbuhan ekonomi sulit digenjot dan kompetisi ekonomi menjadi lemah. Selebihnya, keadilan ekonomi juga sulit diselenggarakan, baik dalam konteks persaingan antarbank maupun perlakuan diskriminatif kepada deposan besar dan kecil. Praktik ini rasanya hanya berlangsung di sini dan sedikit negara lain (seperti Brazil).
Konglomerasi Sektor Keuangan
Selanjutnya, konglomerasi industri keuangan juga patut diwaspadai karena memiliki potensi moral hazard, persaingan tidak sehat, dan keadilan ekonomi. Saat ini terdata oleh OJK sejumlah 31 perusahaan konglomerasi industri keuangan yang menguasai 70% aset industri keuangan yang sebesar Rp 5.300 triliun. Perusahaan konglomerasi itu terdiri dari entitas utama, perusahaan anak, dan korporasi terafiliasi beserta perusahaan anaknya. Dari 31 perusahaan itu, 10 konglomerasi berbentuk vertical group, 13 horizontal group, dan 8 mixed group. Rencana OJK untuk membangun pengawasan integratif terhadap perusahaan konglomeraasi industri keuangan itu jelas langkah terpuji, namun pasti tidak mudah karena kompleksitas instrumen sektor keuangan yang makin rumit. Oleh karena itu, model pengawasan harus dibuat sedetail dan selengkap mungkin sehingga lubang kesempatan penyimpangan dapat ditutup agar kepentingan masyarakat dan makroekonomi nasional terlindungi.
           Di luar dua problem di atas tentu masih banyak lagi yang perlu diurus oleh OJK untuk memastikan sektor keuangan di tanah air berjalan lurus sesuai harapan. Perlu juga disampaikan, bahwa tidak seluruh operasi sektor keuangan telah bengkok, karena selama ini banyak kontribusi penting yang mereka berikan kepada perekonomian nasional, semacam akses keuangan masyarakat yang makin bagus, fasilitasi transaksi, dan pendalaman kegiatan ekonomi. Sungguh pun begitu, watak sektor keuangan yang cenderung eksploitatif, mengambil laba yang melebihi kewajaran, dan diskriminasi yang terus berlangsung mesti segera diakhiri. Korporasi memang harus untung, tapi tak boleh menabrak rambu-rambu kepatutan dan etika bisnis. Sebagian praktik itu bisa dijalankan secara leluasa karena otoritas yang lembek. Oleh karena itu, kebijakan OJK ini penting bukan semata sebagai sinyal ikhtiar mengatasi persoalan, tapi menunjukkan otoritas memiliki sikap yang tegas untuk menyelamatkan kepentingan publik.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef