Pada 15 Agustus lalu presiden telah membacakan RUU APBN 2015 beserta nota keuangannya di depan anggora DPR. Postur RAPBN 2015 menyentuh angka Rp 2000 triliun (tepatnya Rp 2.020 triliun). Jumlah ini terlihat sangat besar, namun sebetulnya jika dibandingkan dengan PDB yang sekitar Rp 10.500 triliun tahun depan, maka anggaran itu kurang dari 20%. Sungguh pun begitu, dari sisi penerimaan jumlah yang direncanakan hanya Rp 1.762,3 triliun, sehingga seperti tahun-tahun sebelumnya anggaran 2015 masih didesain defisit sebesar Rp 257,6 triliun (2,32% terhadap PDB). Demikian pula, anggaran tahun depan juga mengalami defisit keseimbangan primer (jumlah penerimaan lebih kecil ketimbang pengeluaran di luar pembayaran utang), jumlahnya sebesar Rp 103,5 triliun. Situasi ini terjadi sejak 2012 dan terus membesar hingga tahun depan.
Asumsi Makroekonomi
Data di atas menunjukkan bahwa pemerintah harus melakukan utang lagi tahun depan sebesar defisit tersebut, baik yang bersumber dari luar maupun dalam negeri. Informasi lain yang bisa disampaikan menyangkut porsi belanja pemerintah pusat sebesar Rp 1.379,9 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa Rp 640 triliun. Dari sisi penerimaan, diharapkan penerimaan perpajakan menyumbang Rp 1.370,8 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 388 triliun. Ini berarti pada tahun depan rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) ditargetkan masih rendah, seperti tahun-tahun sebelumnya yang selalu pada kisaran 12%. Sementara itu, asumsi pertumbuhan ekonomi adalah 5,6%; inflasi 4,4%; suku bunga SPN 3 bulan 6,2%; nilai tukar Rp 11.900/dolar AS; harga minyak mentah Indonesia (ICP) 105 dolar AS/barrel/hari; dan lifting minyak mentah 845 ribu barrel/hari.
Titik krusial dalam RAPBN 2015 adalah pos subsidi yang mencapai Rp 433 triliun. Subsidi energi memakan porsi paling besar (Rp 363 triuliun) dan non-energi Rp 70 triliun. Subsidi energi itu dibagi menjadi subsidi minyak (Rp 291 triliun) dan listrik (Rp 72 triliun). Sebaliknya, pos belanja yang dialokasikan untuk belanja modal sebesar Rp 206 triliun. Hampir pasti pemerintahan baru akan merevisi subsidi ini, khususnya minyak, sehingga nantinya akan memengaruhi pencapaian asumsi makroekonomi (di samping realokasi belanja). Jika harga minyak dinaikkan, maka inflasi 4,4% menjadi tidak realistis. Tiap kenaikan harga minyak Rp 1000/liter diperkirakan inflasi akan naik 1,0-1,2%. Demikian pula pertumbuhan ekonomi juga akan tertekan seiring dengan kenaikan tingkat suku bunga, yang tentu saja akan menekan pertumbuhan investasi.
Sementara itu, asumsi nilai tukar sebetulnya juga rentan berubah bila inflasi meningkat, yang mengakibatkan nilai tukar akan tertekan. Tahun depan rasanya pemerintah (baru) juga sulit untuk mencapai lifting minyak sebesar itu, paling tinggi pada kisaran 820 ribu barrel/hari. Jika asumsi lifting berubah, maka jumlah impor minyak akan bertambah dan menyebabkan kenaikan jumlah subsidi. Dengan mengandaikan kenaikan harga minyak Rp 1000/liter, diperkirakan tahun depan inflasi akan mencapai 5,5-6%, nilai tukar berpotensi menembus Rp 12.000/dolar AS, dan pertumbuhan ekonomi tertekan ke level 5,3% saja. Apabila harga minyak dinaikkan Rp 2000/liter, maka inflasi bisa mencapai 7% dan pertumbuhan ekonomi tertekan menjadi 5,0%. Pilihan-pilihan sulit ini yang akan diambil pemerintah dengan manfaat disatu sisi dan ongkos di sisi yang lain.
Program Strategis
Apa yang bisa dilakukan pemerintah mendatang agar anggaran lebih sehat dan berdaya? Isu pokok yang harus dijawab adalah mengembalikan keseimbangan primer. Dengan begitu, paling tidak dibutuhkan peningkatan penerimaan sebanyak Rp 103,5 triliun atau penghematan sebesar itu. Menambah penerimaan sebesar itu rasanya sulit karena membutuhkan waktu dan upaya yang lebih keras. Demikian pula, PNBP juga tak mudah ditingkatkan. Jika dilakukan upaya yang sangat serius, mungkin hanya bisa diperoleh kenaikan penerimaan sebesar Rp 90-100 triliun. Dengan begitu, penghematan merupakan pilihan yang mesti diambil. Apa yang dapat dihemat? Beberapa pos yang bisa dikurangi adalah belanja barang, program yang tumpang tindih dan bukan prioritas, perjalanan dinas, pengurangan fasilitas pejabat, dan lain sebagainya. Dari sini bisa dihemat Rp 30-40 triliun.
Apabila skenario di atas berjalan, maka keseimbangan primer akan bisa dicapai sehingga defisit anggaran tinggal 1,5%. Meskipun belum ideal, defisit itu masih dapat diterima pada tahun pertama transisi kekuasaan. Persoalannya, kualitas alokasi belanja masih buruk, karena belanja terkait dengan motor pembangunan, seperti belanja modal, sangat sedikit. Apa yang bisa dilakukan lagi? Tak ada cara lain, kecuali mengurangi subsidi (meski tak harus menaikkan harga minyak). Jika targetnya subsidi minyak tinggal Rp 150 triliun, dapat ditambahkan ke belanja modal sehingga akan menjadi Rp 300-an triliun. Sebelum kebijakan ini diambil, sebaiknya pemerintah menangani dulu masalah penyelundupan dan mafia impor minyak. Jika ini sukses, maka resisteni rakyat terhadap kebijakan penghematan atau kenaikan harga tidak akan terlalu besar.
Pekerjaan rumah terakhir yang masih dapat dilakukan adalah merevisi program sesuai dengan janji pemerintahan terpilih. Isu yang harus masuk adalah pengarusutamaan pembangunan maritim, alokasi dana desa sesuai dengan perintah undang-undang, reforma agraria, mitigasi liberalisasi perdagangan (khususnya Masyarakat Ekonomi Asean), dan desain skema jaminan sosial semesta (termasuk di dalamnya pendalaman subsidi kesehatan, pendidikan, perumahan, pengangguran, dan lain-lain). Tentu saja program itu tak akan diselesaikan tahun depan, namun sudah harus dirintis sejak dini karena menyangkut janji yang telah diikrarkan. Kendala yang dihadapi juga banyak, terutama desain anggaran sudah dirumuskan oleh pemerintah sebelumnya. Namun, segala soal itu bisa dikelola selama terdapat komitmen yang utuh dan ketulusan hati.
Â
Â
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef