Pembangunan desa (perdesaan) selalu menjadi isu penting di Indonesia sejak dulu kala, apalagi pada saat kampanye. Dua hal ini menjadi isu pokoknya: (i) sebagian besar penduduk Indonesia berdiam diri di wilayah desa, meskipun proporsinya dari tahun ke tahun makin merosot. Saat ini diperkirakan 60% penduduk masih tinggal di desa; (ii) kesejahteraan penduduk di desa jauh tertinggal dibandingkan penduduk kota. Sebagian besar penduduk desa bekerja di sektor pertanian atau sektor informal dengan pendapatan yang rendah. Saat ini sekitar 63% dari total penduduk miskin berdiam diri di desa. Tentu ada alasan lain di luar itu, misalnya sebagian besar sumber daya ekonomi yang ada di desa. Namun, kedua argumen di atas merupakan poin utama tentang pentingnya pembangunan perdesaan, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik.
Benturan Kepentingan
Selama ini terdapat banyak pendekatan pembangunan perdesaan dari zaman ke zaman. Sekurangnya pendekatan itu bisa dibagi dalam enam fase berikut (Ellis dan Biggs, 2001:444). Pertama, model dualisme ekonomi menjadi isu strategis pembangunan perdesaan di negara-negara berkembang pada 1950-an. Pada fase ini, tujuan pembangunan perdesaan diarahkan dari semula pembangunan komunitas (1950-an) ke penekanan pertumbuhan usaha tani kecil (small-farm) [1960-an]. Kedua, pertumbuhan usaha tani kecil (1960-an) dilanjutkan kepada upaya pembangunan perdesaan yang terintegrasi (1960-an), di antaranya melalui kebijakan transfer teknologi, mekanisasi, dan penyuluhan pertanian. Ketiga, pergeseran pembangunan perdesaan yang dipandu negara (state-led) [1970-an] menuju liberalisasi pasar (1980-an) melalui kebijakan penyesuaian struktural dan pasar bebas.
Keempat, pembangunan perdesaan diarahkan untuk penguatan pendekatan proses, partisipasi, pemberdayaan, dan pelaku (actor) [tahun 1980-an dan 1990-an]. Kelima, pentingnya penghidupan yang berkesinambungan sebagai sebuah kerangka kerja yang terintegrasi dalam pembangunan perdesaan (1990-an), di antaranya lewat penguatan kredit mikro, jaring pengaman perdesaan, dan peran perempuan dalam pembangunan. Keenam, menempatkan pembangunan perdesaan sebagai strategi untuk mengurangi kemiskinan (2000-an). Dari fase-fase tersebut bisa diidentifikasi bahwa proses komersialisasi sektor perdesaan (lebih tepat lagi sektor pertanian) sudah terjadi pada 1960-an, melalui serangkaian kebijakan yang berupaya meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian, revolusi hijau, dan penciptaan petani yang rasional.
Pertanyaan gentingnya, mengapa pendekatan yang relatif komprehensif tersebut tidak juga memajukan desa dan mensejahterakan penduduknya (khususnya yang bekerja di sektor pertanian)? Terdapat tiga hipotesa kunci untuk memetakan fenomena tersebut. Pertama, pembangunan perdesaan ditangani terlampau banyak institusi sehingga sinkronisasi dan koordinasi sulit dikerjakan. Bahkan kerap terjadi, antar-institusi berbenturan untuk memeroleh manfaat ekonomi dan politik. Kedua, pembangunan perdesaan dijalankan dengan tidak menyertakan reformasi struktural di wilayah desa itu sendiri, baik dari sisi fiskal, sumber daya ekonomi (tanah), dan administrasi pemerintah (desa). Ketiga, pembangunan perdesaan dikerjakan secara isolatif sehingga terlepas dari pembangunan secara keseluruhan (sektoral, wilayah, dan lain-lain).
Tata Kelola Desa
Dalam konteks pembangunan perdesaan, yang terlebih dulu harus dibenahi adalah tersedianya lingkungan yang layak (enabling environment) sebagai dasar alas pembangunan. Lingkungan yang layak itu antara lain adalah terwujudnya kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang kondusif bagi individu untuk memeroleh pilihan-pilihan dalam mengerjakan kegiatan yang bersinggungan dengan kelangsungan hidup (ekonomi). Secara ekonomi, desa dikepung dengan komersialisasi ekonomi yang melumpuhkan kegiatan ekonomi tradisional di perdesaan. Sementara itu, secara sosial, jaringan kekerabatan dan kultur saling membantu telah dikikis dengan sistem ekonomi pasar yang mendasarkan relasi antarindvidu dengan basis kalkulasi material. Pertemuan infrastruktur politik, ekonomi, dan sosial yang tidak menguntungkan itulah yang menenggelamkan individu-individu (rumah tangga) tunadaya (powerless) ke dalam kubang kemiskinan.
Syarat untuk memeroleh lingkungan yang layak tersebut setidaknya bersumber dari dua aspek: reformasi desentralisasi dan kapasitas lokal (termasuk pembangunan kelembagaan). Desentralisasi sebagai konsep yang bertujuan memberi ruang bagi pemerintah lokal (dan juga masyarakat) untuk merencanakan dan bertindak mengatasi persoalannya sendiri, ternyata kerap kali juga terjebak dalam gurita ekonomi/politik/birokrasi yang diciptakannya sendiri, sehingga dengan begitu desentralisasi juga perlu direformasi. Pola yang sama diharapkan juga terjadi pada penguatan kapasitas lokal, di mana aspek politik, administratif, fiskal, dan tanah merupakan hal-hal yang mesti disentuh agar memeroleh penguatan. Secara ringkas, penguatan kapasitas lokal diharapkan berujung kepada partisipasi masyarakat untuk menentukan pembangunan di tingkat lokal (desa).
Tepat pada titik inilah sengketa soal perebutan “ladang†urusan desa bisa diurai. Semangat UU Desa No. 6/2014 adalah mensejahterakan masyarakat desa, bukan lagi pembangunan di desa yang dikendalikan ketat secara administratif dari atas (rezim kontrol). Oleh sebab itu, implementasi pembangunan desa sejak sekarang sebaiknya berada di bawah kendali Kementerian Desa (Pembanguan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi). Urusan pemerintahan desa tak lagi dimaknai sebagai turunan kepentingan politik pemerintah pusat terhadap desa, namun diartikan sebagai upaya reformasi administrasi/politik untuk memberdayakan desa. Jika model ini diambil, maka konsep yang dibangun di atas dan menjadi spirit UU Desa akan bisa dijalankan secara utuh. Semoga semangat perubahan ini dipahami oleh pemerintah sehingga rekonstruksi pembangunan desa bisa dikerjakan.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef