Suasana muram benar-benar dirasakan sebagian besar negara saat ini ketika situasi ekonomi terus menunjukkan ke arah resesi. Gejala resesi itu ditandai oleh, antara lain, kontraksi sektor keuangan, anjloknya harga saham, kelesuan investasi/bisnis, melonjaknya pengangguran, dan ancaman inflasi. Tentu saja dampak dan daya tahan masing-masing negara dalam menghadapi ancaman resesi ini berbeda-beda tergantung dari kekuatan ekonomi domestik. AS merupakan negara yang paling terpukul dari resesi ekonomi karena sumber dari stagnasi sekarang sebagian besar bersumber dari negara tersebut (subprime mortgage), selain akibat kenaikan harga minyak internasional dan komoditas pangan. Sedangkan negara yang justru mengakumulasi keuntungan dari kondisi ini adalah negara produsen minyak, yang umumnya berada di kawasan Timur Tengah. Tampaknya, posisi Indonesia berada dalam situasi yang tidak menyenangkan karena struktur ekonomi yang rapuh.
Perlambatan Ekonomi
Baru-baru ini Bank Pembangunan Asia (ADB) telah mengeluarkan publikasi yang berisi prediksi pertumbuhan ekonomi Asia 2008 (Asian Development Outlook 2008). Dalam publikasi tersebut hampir semua negara diproyeksikan akan mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi. China, misalnya, pertumbuhan ekonominya diperkirakan ”hanya” tumbuh 10%, India 8%, Vietnam, 7%, Filipina 6%, Malaysia 5,4%, Singapura 5,2%, Thailand 5%, dan Hongkong 4,5%. Indonesia sendiri menurut ADB paling tinggi pertumbuhan ekonominya 6%, jauh lebih rendah dari perkiraan pemerintah sebesar 6,4%. Dari situ terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi masing-masing negara menurun ketimbang tahun 2007. Khusus untuk Indonesia, diperkirakan oleh ADB situasinya akan bertahan dua tahun ke depan sehingga pemerintah harus menyiapkan banyak jurus untuk mengatasinya. Pekerjaan rumah ini tentu membutuhkan pemanfaatan kapasitas penuh dari birokrasi pemerintah.
Perlambatan ekonomi di Indonesia menjadi semakin akut karena desakan dari dua sumber. Pertama, kapasitas fiskal (APBN) 2008 kian mengecil akibat meledaknya subsidi energi dan non-energi. Pembengkakan subisidi energi timbul karena tingginya harga minyak internasional (dalam APBN diasumsikan pada level US$ 95/barel), sedangkan subsidi non-energi juga besar sebab harga komoditas pangan yang turut melambung di pasar dunia. Pemerintah sebetulnya bisa menurunkan level subsidi energi dengan syarat mau meningkatkan harga minyak domestik. Tapi, sampai hari ini pemerintah bersikukuh tidak akan mengambil opsi itu. Semua paham langkah ini ditempuh pemerintah karena risiko politiknya yang besar (karena mendekati pemilu). Sedangkan subsidi pangan (non-energi) tidak mungkin dikurangi sebab hal ini akan sangat memukul kelompok masyarakat berpendapatan rendah (miskin). Dengan begitu, memang daya dobrak sektor fiskal kita amat lemah.
Kedua, pertumbuhan investasi 2007 nampaknya tidak akan terjadi lagi saat ini karena ekspektasi masyarakat yang muram terhadap masa depan perekonomian. Padahal investasi merupakan lokomotif pertumbuhan ekonomi. Sekarang pemerintah hanya mengandalkan sumber pertumbuhan ekonomi yang berasal dari pengeluaran pemerintah (yang jumlahnya sangat terbatas) dan konsumsi rumah tangga. Kesinambungan pertumbuhan ekonomi yang berasal dari konsumsi rumah tangga juga diragukan mengingat daya beli masyarakat yang semakin merosot akibat tekanan inflasi. Jadi, problem investasi ini masih akan menghantui perekonomian nasional pada 2008, yang ujung-ujungnya adalah ketidakmampuan menciptakan lapangan kerja baru. Jika ini yang terjadi, maka barisan pengangguran akan kian panjang. Oleh karena itu, medan pertempuran yang dihadapi pemerintah saat ini sebetulnya adalah bagaimana investasi bisa ditingkatkan berhubung kapasitas fiskal yang sangat lemah.
Pertumbuhan Berkualitas
Situasi sekarang memang rumit bagi pemerintah apabila menginginkan kenaikan investasi. Semua paham, investasi minimal membutuhkan dua syarat, yakni tingkat suku bunga (kredit) yang kompetitif dan ekspektasi perekonomian yang bagus. Masalahnya, dua syarat itu tidak dipunyai saat ini. Tingkat suku bunga masih sangat tinggi karena BI tidak mau menurunkan BI rate. Pada 3 April 2008 lalu, BI mengumumkan bahwa BI rate tetap pada level 8%. Kebijakan konservatif ini diambil karena, menurut BI, sangat riskan menurunkan BI rate di tengah tekanan inflasi yang tinggi. BI percaya bahwa penurunan BI rate akan diikuti oleh peningkatan inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Jika ini yang terjadi, maka fundamental ekonomi akan goyah. Tetapi, prediksi ini sebetulnya belum tentu benar mengingat sumber inflasi dan nilai tukar uang tidak semata tergantung dari subu bunga. Inflasi yang terjadi dalam 3 bulan ini, misalnya, sebagian besar justru disumbang dari kenaikan komoditas pangan.
Dengan begitu, pemerintah harus berani melihat peluang-peluang kebijakan ekonomi lain yang tidak konservatif mengingat kompleksitas persoalan yang muncul. Di sinilah pemerintah harus berani mengambil target yang diprioritaskan, meskipun harus mengorbankan target yang lain. Target pengendalian inflasi yang berlebihan nampaknya kurang realistis sebab sebagian sumber inflasi di luar kemampuan pemerintah (BI) untuk mengontrolnya. Sehingga, target menjaga dan meningkatkan investasi lebih realistis. Secara gradual BI bisa mulai menurunkan BI rate (paling lambat 3 bulan ke depan) agar sinyal itu ditangkap oleh investor. Berikutnya, pemerintah sebaiknya mulai berpikir untuk mengarahkan investasi ke sektor yang banyak menciptakan lapangan kerja, sehingga membantu upaya mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Apabila langkah ini berhasil, maka meskipun pertumbuhan ekonomi tidak setinggi 2007 namun secara kualitas lebih bagus.
Seputar Indonesia, 7 April 2008
*Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef, Jakarta