Otoritas dan Renegosiasi
Bagaimana situasi di atas direlasikan dengan isu resuffle kabinet, khususnya di pos ekonomi? Ada tiga kunci yang penting untuk dicamkan baik-baik: peneguhan otoritas, komitmen renegosiasi, dan penguatan ekonomi domestik. Pertama, BI dan Kemenkeu selama ini sebetulnya sudah kerap diingatkan untuk segera menetapkan kebijakan “kontrol modal†demi melindungi stabilitas ekonomi, khususnya nilai tukar. Kebebasan arus masuk-keluar modal terbukti selama ini membuat ekonomi nasional selalu dalam kondisi terancam. BI akhir-akhir ini sudah mulai melakukan kontrol modal, walaupun moderat, seperti upaya penjerengan pemegangan SBI. Langkah ini perlu dipeketat lagi dan diimbangi dengan keseriusan Kemenkeu untuk melakukan upaya serupa, khususnya melindungi SUN dari serbuan asing. Intinya, otoritas yang dimiliki oleh BI dan Kemenkeu harus betul-betul dimanfaatkan.
Kedua, sejak 2008 lalu isu kembali ke perekonomian domestik dan membatasi persaingan dengan luar negeri mulai menghangat lagi, khususnya di AS. Mereka bahkan menggelorakan kampanye “beli produk AS†untuk menguatkan kembali industri domestik. Berkaca dari pengalaman ini, liberalisasi perdagangan yang sudah diratifikasi Indonesia perlu ditelaah ulang. Jika dihitung secara cermat, liberalisasi perdagangan ini lebih banyak merusak ketimbang menyumbang faedah bagi ekonomi nasional. Ketiga, pasca-reformasi ekonomi 1998 kita seperti lupa melakukan penguatan ekonomi (investasi) domestik. Kebijakan-kebijakan investasi lebih banyak diarahkan untuk mendatangkan investasi asing ketimbang memfasilitasi investasi domestik. Dalam situasi seperti sekarang, ketika pasar luar negeri gamang, maka penguatan ekonomi/investasi domestik merupakan satu-satunya jalan keluar yang masuk akal.
Dengan pertimbangan tersebut, maka resuffle kabinet ekonomi harus dimulai dari perubahan platform ekonomi presiden, yakni melindungi sektor keuangan, komitmen renegosiasi liberalisasi, penguatan investasi/ekonomi domestik. Kementerian yang berada di bawah tiga area ini harus dikocok ulang, khususnya yang haluan ekonominya sudah terlihat tidak cocok dengan platform baru ini. Berikutnya, kementerian ekonomi teknis, seperti pertanian, industri, dan perikanan pergantian atau tidaknya lebih banyak karena pertimbangan kapabilitas. Informasi mengenai hal ini jauh lebih mudah karena sudah disediakan oleh tim evaluasi yang dibentuk presiden. Terakhir, kabinet baru harus dalam kendali presiden dan wapres untuk mengawalnya. Jika mereka dibiarkan bekerja layaknya tanpa dirijen, hasilnya akan sama saja. Semua syarat ini harus hadir apabila resuffle ingin dilakukan, namun jika tidak sebaiknya resuffle dilupakan.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef