Pasca-reformasi ekonomi 1998, perekonomian nasional menunjukkan dua watak yang saling bertolak belakang. Karakter pertama, secara perlahan stabilitas makroekonomi mulai tertata dengan baik, meskipun dalam beberapa kesempatan pernah mengalami masalah akibat krisis ekonomi, seperti 2005 (masalah minyak dan 2008 (krisis keuangan). Tercatat pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, inflasi, cadangan devisa, investasi, dan lain-lain menunjukkan perkembangan ke arah yang menggembirakan. Namun, di sisi lain, perekonomian juga menunjukkan karakter yang muram, seperti angka kemiskinan yang susah ditekan, pelaku sektor informal yang membengkak, ketimpangan pendapatan yang makin lebar, disparitas regional yang mencemaskan, pertumbuhan sektor riil merosot (pertanian dan industri), dan aneka soal lainnya. Bagaimanakah fenomena ini mesti dijelaskan di tengah isu reshuffle yang berhembus kencang saat ini?
Kebijakan Reformasi Ekonomi
Secara umum, kebijakan reformasi ekonomi yang ditempuh oleh Indonesia mengambil dua titik pijak. Pertama, deregulasi dan liberalisasi sektor keuangan diambil terlebih dulu ketimbang deregulasi sektor perdagangan. Jika diteliti lebih detail, deregulasi sektor keuangan bahkan sudah dimulai sejak 1983, ketika pemerintah mulai melonggarkan pembukaan dan operasi sektor perbankan melalui paket Juni (Pakjun) 1983. Sejak itulah era keterbukaan dan liberalisasi sektor perbankan, termasuk diperbolehkannya bank asing beroperasi, memasuki jagad perekonomian nasional. Pada saat yang sama, aturan rinci mengenai operasi perbankan itu tidak disiapkan dengan baik, di samping tidak ditopang oleh sumber daya insani yang siap bekerja secara profesinoal di bidang tersebut. Dalam beberapa aspek, soal yang terakhir itu menjadi salah satu sebab munculnya krisis ekonomi 1997, misalnya akibat pelanggaran kebijakan legal lending limit.
Kedua, reformasi ekonomi dimulai dari level makro baru diikuti level meso/mikro. Pemerintah lebih senang melakukan kebijakan liberalisasi dan privatisasi (tentu sebagian karena panduan IMF dan Bank Dunia) ketimbang memerbaiki tata kelola ekonomi (kelembagaan) pada level mikro. Contoh yang paling kasat mata dapat dilihat di sektor pertanian. Pada 1998, sektor pertanian diliberalisasi secara membabi buta (termasuk mempreteli kewenangan Bulog) pada saat pranata di sektor pertanian itu sendiri jauh dari situasi sehat. Pada proses produksi, masalah lahan, akses kredit, pupuk/bibit tidak ada perbaikan sehingga petani selalu terjepit. Pada level distribusi, tengkulak dan distributor kakap menjadi benalu yang mematikan petani dan menekan konsumen. Seluruh praktik ini disempurnakan dengan derasnya aliran komoditas impor yang datang seperti aliran air bah.
Model dan pilihan kebijakan reformasi ekonomi tersebut menimbulkan efek sebagai berikut. Liberalisasi sektor keuangan menjadi medium bagi perilaku spekulasi yang tidak berjalan paralel dengan pergerakan sektor riil. Pertumbuhan jumlah bank dan dana pihak ketiga (DPK) tidak lantas diikuti dengan pertumbuhan jumlah kredit secara proporsional karena sebagian DPK diparkir di instrumen keuangan lainnya, misalnya obligasi pemerintah, SBI, dan lain-lain. Mudah diduga apabila situasi ini makin menjauhkan perekonomian dari sektor riil. Selanjutnya, sektor pertanian dan industri perkembangannya kian menyedihkan karena tidak ada insentif yang memadai dalam level mikro, sementara liberalisasi perdagangan telanjur diratifikasi. Puncaknya, pada 2010 lalu sektor pertanian hanya tumbuh 2,9% dan sektor industri 4,5%. Padahal pada saat yang sama pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 6,1%.