Reshuffle kabinet nyaris merupakan tradisi tahunan yang berlangsung sejak masa reformasi ekonomi, tepatnya tahun 1997/1998. Pada masa Orde Baru, amat jarang presiden merombak kabinet, sehingga masa tugas menteri selalu penuh (lima tahun). Dalam situasi yang serba tertib dan pasti tersebut, menteri-menteri relatif memiliki waktu yang memadai untuk mengimplementasikan program-program yang sudah dirancang. Saat ini, persuaan antara ruang demokrasi yang kian luas (sehingga membuat tekanan publik semakin memengaruhi pengambil kebijakan) dan kinerja menteri yang sebagian memble, membuat reshuffle memeroleh momentum yang tepat untuk diambil. Sekarang, presiden sudah memastikan pada awal Mei ini kabinet kembali akan dirombak. Tentu, sampai kini hanya presiden yang tahu pos kabinet mana saja yang akan dikocok ulang.
Menteri Textbook
Menurut penulis, ada tiga jenis menteri yang patut diganti untuk memerbaiki ekspektasi publik terhadap pemerintah. Pertama, menteri yang secara etis telah melakukan praktik yang bertabrakan dengan norma-norma hukum, walaupun secara de jure belum diproses (ditetapkan). Termasuk dalam kategori ini adalah menteri yang korporasinya terlilit malpraktik usaha yang sangat serius. Publik sangat paham tentang pos menteri yang harus diganti karena alasan ini. Kedua, menteri yang secara obyektif memiliki kualifikasi rendah berkaitan dengan jabatan yang disandangnya. Celakanya, salah satu pos menteri ini sangat penting bagi pembangunan Indonesia secara keseluruhan, yakni pos kementerian PDT (percepatan daerah tertinggal). Ketiga, menteri yang perlu dirombak karena orientasinya yang terlalu textbook, walaupun secara akademik tidak ada yang meragukan reputasinya. Sekurangnya sekitar 3-5 pos kementerian ekonomi layak dipertimbangkan untuk dirombak karena faktor ini.
Secara khusus, tulisan ini hanya akan menyorot pos-pos ekonomi yang secara umum memeroleh nilai rendah dari beberapa jajak pendapat. Tentu saja publik punya nalar mengapa pos kementerian ekonomi harus dirombak, yakni soal penanganan kemiskinan dan pengangguran yang amat lemah. Secara mencolok angka kemiskinan dan pengangguran terus meroket sejak pemerintahan SBY-Kalla berkuasa, meskipun tahun lalu pos ekonomi tersebut sebenarnya sudah dirombak. Masalah kemiskinan dan pengangguran nyaris menenggelamkan pencapaian ekonomi lain, yang sebenarnya pantas diapresiasi, seperti pertumbuhan ekspor yang tinggi, cadangan devisa yang besar, stabilitas kurs rupiah, indeks harga saham gabungan yang terus membaik, dan utang IMF yang berhasil dilunasi. Tapi, bagi publik, pencapaian ekonomi itu tidak bermakna apapun bila sebagian besar angkatan kerja menganggur dan rakyat terjebak dalam kemiskinan yang akut.
Beberapa bentuk textbook dari kebijakan menteri-menteri ekonomi tersebut antara lain menyangkut kebijakan pengurangan subsidi BBM dan penguatan investasi. Ekonom-ekonom terkemuka yang dibesarkan dalam tradisi ekonomi neoklasik memiliki prinsip baku bahwa subsidi selalu berarti buruk tanpa berpikir dalam cakrawala yang lebih luas. Kebijakan kenaikan harga BBM yang tidak disertai dengan analisis yang tajam pengaruhnya terhadap variabel lain yang bersinggungan dengan BBM, seperti sektor transportasi, perdagangan, dan industri, mengakibatkan sektor-sektor itu hampir lumpuh. Sedangkan soal investasi, sudah jelas bahwa masalahnya bukan sekadar mengundang investor (asing) dengan iming-iming fasilitas, seperti yang termaktub dalam UU Penanaman Modal yang baru diratifikasi. Harusnya, dipertimbangkan pula jenis investasi apa yang dibutuhkan oleh perekonomian dan kemanfaatannya bagi kepentingan nasional dalam jangka panjang.
Penguatan Revitalisasi Pertanian
Terlepas dari aspek pragmatis di atas, sudah waktunya pemikiran ekonomi di Indonesia direvisi dengan keluar dari kerangkeng buku teks ekonomi (neoklasik) yang amat diyakini kebenarannya oleh para pemangku negara, nyaris tanpa daya kritis. Padahal, persoalan ekonomi berkembang dengan begitu rumitnya sesuai dengan konteks negara masing-masing. Dalam situasi seperti ini, mustahil mengharapkan solusi tunggal dan umum dengan mengambil dari buku teks ekonomi standar untuk mengatasi masalah ekonomi. Dulu, kita punya orang-orang sekaliber Sritua Arief dan Mubyarto yang memiliki konsep ekonomi lebih membumi sesuai dengan konteks sosial. Tawaran-tawaran solusi yang diberikan pun juga keluar dari penjara buku teks ekonomi mapan yang cuma cocok di atas kertas. Pandangan Sritua tentang utang luar negeri dan investasi asing jelas sangat berbeda dengan kebanyakan ekonom-ekonom di kabinet (termasuk staf ahlinya), demikian pula program IDT yang diprakarsai oleh Mubyarto jauh lebih layak ketimbang konsep pengurangan kemiskinan yang diproduksi saat ini.
Ekonom-ekonom di pos kabinet yang bercokol sejak puluhan tahun lalu hanya mengerti rumus dasar bahwa pertumbuhan ekonomi disokong oleh investasi, khususnya yang padat teknologi dan modal. Kasus Indonesia jelas berbeda, karena sumberdaya ekonomi berada di sektor pertanian (termasuk perikanan, perkebunan, dan kehutanan). Dalam konteks ini, kita juga butuh menteri pertanian dan perikanan/kelautan (pos ini juga patut dipertimbangkan untuk diganti) yang paham betul cara mengakselerasi revitalisasi pertanian secara utuh. Oleh karena itu, menteri ekonomi yang memiliki wawasan bagus di sektor pertanian laik dipertimbangkan mengisi pos kementerian perdagangan, investasi, dan industri. Dengan begitu, nantinya seluruh sektor ekonomi yang dikembangkan memiliki keterkaitan dengan sektor pertanian yang ramah tenaga kerja dan ditempati oleh sebagian besar kaum miskin. Langkah ini tentu lebih memberi kepastian bagi pemulihan ekonomi nasional sehingga reshuffle kali ini bermakna terhadap kehidupan rakyat jelata.
Seputar Indonesia, 7 Mei 2007
*Ahmad Erani Yustika, PhD dosen Departemen Ilmu Ekonomi Unibraw
dan Direktur Eksekutif ECORIST (The Economic Reform Institute)