Setelah percaya diri dengan target dan asumsi yang dibuat dalam RAPBN 2008, pemerintah akhirnya merevisi target ekonomi 2008. Target pertumbuhan ekonomi diturunkan dari semula 6,8% menjadi 6,4%. Perubahan ini juga terjadi pada inflasi yang diubah menjadi 6,5% (semula 6,0%), nilai tukar rupiah dari Rp 9.100 menjadi Rp 9.150/dolar AS, dan suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) tetap pada angka 7,5%. Berikutnya, harga minyak dipatok menjadi 83 dolar/barel (semula 60 dolar AS/barel) dan produksi minyak diturunkan dari 1,034 juta barel/hari menjadi 910 ribu barel/hari. Perubahan yang signifikan juga terjadi pada pendapatan negara yang dinaikkan dari Rp 781,4 triliun menjadi Rp 839 triliun. Selanjutnya, belanja negara juga meningkat dari Rp 854,6 triliun menjadi Rp 926 triliun sehingga defisit APBN menjadi 2% (Rp 87 triliun dari semula Rp 73,3 triliun) [Sindo, 16/02/2008]. Kira-kira dampak ekonomi apa yang bakal terjadi seiring revisi asumsi dan target ekonomi tersebut?
Pertautan Ekonomi
Revisi target ekonomi yang dibuat pemerintah nampaknya diiringi oleh kesadaran adanya pertautan yang kuat antara ekonomi domestik dengan perekonomian internasional (khususnya AS). Implikasinya, apabila ekonomi AS yang diramalkan pada 2008 ini mengalami resesi, maka perekonomian Indonesia juga akan terkena imbas (recoupling). Pertautaan ekonomi domestik dengan perekonomian AS ini sekurangnya dapat dijelaskan dari dua jalur. Pertama, jalur perdagangan internasional. Pasar AS saat ini menyumbang sekitar 10% dari total ekspor Indonesia, sehingga apabila perekonomian AS lesu maka akan mengurangi jumlah ekspor Indonesia. Kedua, jalur penanaman modal asing (PMA). Walaupun tidak sebesar Jepang, sumbangan PMA dari AS terhadap ekonomi nasional cukup signifikan sehingga setiap pengurangan investasi asing (AS) akan mengurangi pertumbuhan ekonomi. Jadi, lewat dua jalur itulah resesi ekonomi AS akan berdampak terhadap ekonomi nasional.
Sementara itu, asumsi dan target baru yang dibuat oleh pemerintah nampaknya sebagian masih terlalu optimis, meskipun sudah jauh lebih realistis dibandingkan target terdahulu. Pertumbuhan ekonomi pada 2008 paling bagus yang akan dicapai pemerintah berada di kisaran 6,3%, bukan 6,4% seperti yang ditargetkan pemerintah. Sedangkan inflasi potensinya akan mencapai angka 6,7 – 6,8% karena harga minyak internasional yang sulit turun dan krisis pangan yang sampai sekarang tidak sanggup ditangani pemerintah. Sedangkan asumsi harga minyak sebesar 83 dolar AS/barel cukup realistis, tetapi pekerjaan rumah pemerintah adalah bagaimana caranya bisa memproduksi minyak sebesar 910 ribu barel/hari. Diprediksi pemerintah masih sulit untuk mencapai produksi tersebut mengingat beberapa kilang minyak justru mengalami penurunan, sementara kilang baru (semacam Blok Cepu) mengalami keterlambatan peningkatan produksi. Jelas ini tantangan yang tidak mudah diselesaikan pemerintah.
Penghematan dan Subsidi
Persoalan lain yang sangat krusial adalah pembengkakan defisit fiskal yang diprediksi menembus angka 2% (Rp 87 triliun). Angka ini bahkan berpotensi lebih besar lagi apabila terjadi hal-hal yang luar biasa (force majeur), seperti kenaikan harga BBM di atas 100 dolar AS/barel dan bencana alam. Pemerintah telah mengambil kebijakan penghematan untuk mencegah pendarahan fiskal tersebut, yakni dengan jalan memotong dana lembaga/kementerian sebesar 15%. Hanya, cara ini bukannya tanpa risiko. Pemotongan anggaran belanja modal lembaga/kementerian dipastikan akan mengurangi daya dukung belanja pemerintah (government expenditure) sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Jadi, di sini terdapat trade-off antara penghematan dan pertumbuhan ekonomi. Jika penghematan yang dipilih, maka potensi pertumbuhan ekonomi berkurang. Sebaliknya, jika defisit fiskal dibiarkan membesar terdapat ruang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi (meskipun ada risiko lain).
Dalam situasi yang serba dilematis tersebut sebetulnya pemerintah tidak boleh lagi berpikir text-book. Di sini yang dibutuhkan adalah keberanian untuk mengambil kebijakan yang kurang populer dan penentuan skala prioritas. Pertama, pemerintah harus berani mengambil langkah untuk menaikkan harga BBM, seperti pada 2005, tentu dengan tetap memberikan subsidi terhadap minyak tanah. Sedangkan sektor industri yang terkena dampaknya diberi kompensasi keringanan pajak (tax holiday), khususnya yang berorientasi ekspor. Sedangkan kebijakan pembatasan konsumsi BBM (smart card) yang akan ditempuh pemerintah cenderung ”banci” dan sulit untuk mengontrolnya. Kedua, dana penghematan subsidi dialokasikan untuk menggenjot pembangunan sektor pertanian sebagai jalan untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengatasi krisis pangan. Langkah ini jauh lebih memiliki kerangka kepastian ketimbang kebijakan yang diambil saat ini.
Skala prioritas untuk memilih pembangunan sektor pertanian sebagai jalan keluar atas persoalan yang menghimpit perekonomian ini bukan tanpa alasan. Elastisitas penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian lebih besar dibandingkan sektor lainnya (industri/jasa), sehingga setiap investasi di sektor pertanian akan diiringi dengan penyerapan tenaga kerja yang besar. Implikasinya, persoalan pengangguran segera lekas diatasi. Berikutnya, investasi di sektor pertanian lebih murah sekaligus memberi daya dukung terhadap kedaulatan pangan. Akhirnya, produksi sektor pertanian yang meningkat akan memberi insentif bagi sektor industri (yang berbasis komoditas sektor pertanian/agroindutri) berkembang sehingga dapat mengisi ceruk pasar internasional yang terbentang luas. Jadi, di tengah desakan ekonomi eksternal yang kurang bagus, sebetulnya masih tersedia ruang bagi ekonomi domestik bernafas asalkan pemerintah jeli dan berani mengambil alternatif-alternatif kebijakan.
Seputar Indonesia, 21 Februari 2008
*Ahmad Erani Yustika, PhD Ketua Program Studi Magister
Ilmu Ekonomi FE Unibraw dan Senior Economist Indef, Jakarta