September ini tepat setahun peristiwa krisis keuangan terjadi. Krisis yang masih berlangsung ini merupakan salah satu krisis terburuk di dunia, yang tidak hanya ditandai oleh kerugian finansial yang sangat besar, tetapi juga kehilangan kepercayaan terhadap kerja mekanisme pasar. Implikasi atas ketidakpercayaan terhadap sirkulasi mekanisme pasar tersebut telah menimbulkan konsekuensi yang besar, di antaranya animo pemerintah (dalam skala global) yang hendak mengerangkeng secara ketat institusi finansial. Jika kebijakan itu dilakukan secara konsisten, maka kita akan menjumpai pembalikan praktik ekonomi yang telah dilakukan sekitar tiga dekade lalu. Sektor keuangan yang diberi ruang improvisasi sedemikian besar sejak dekade 1980-an untuk menggerakkan aktivitas ekonomi, mulai saat ini dipersempit ruang geraknya hanya sebatas menafkahi kepentingan sektor riil, bukan menjadikan dirinya sebagai komoditas itu sendiri. Dalam beberapa aspek tentu ini merupakan berita baik.
“Business Cycleâ€
Salah satu pusat persoalan ekonomi kapitalis yang amat mematikan adalah siklus bisnis yang menyebabkan konjungtur ekonomi naik turun. Dunia usaha merupakan jantung perekonomian yang mempertemukan dua sisi sekaligus. Pada sisi permintaan, siklus bisnis yang menanjak (up-ward) menandai terjadinya kebutuhan tenaga kerja sehingga ekonomi berada pada level penuh (full employment). Pada sisi penawaran, konjungtur usaha yang mendaki mengindikasikan penambahan barang/jasa yang bisa dijual di pasar sehingga bertemu dengan daya beli masyarakat. Sayangnya, tidak selamanya warta bagus itu terjadi. Meminjam analisis Keynes, kapitalisme selalu memproduksi krisis “sistemik†yang berwujud tidak bertemunya antara penawaran (barang/jasa) dan permintaan akibat daya beli konsumen yang hancur. Pasar tidak akan pernah bisa mengangkat kembali perekonomian, karena pokok soalnya adalah digerogotinya daya beli masyarakat.
Namun, Robert Lucas (pemenang nobel ekonomi tahun 1995) pada 2003 lalu memproklamirkan bahwa pusat persoalan ekonomi itu telah dapat dijinakkan (Krugman, 2009). Salah satunya adalah dengan jalan mengefektifkan peran bank sentral dan juga kebijakan fiskal (seperti yang diformulasikan Keynes) untuk mengembalikan siklus ekonomi ke zona pemulihan seandainya resesi menghantam. Tapi, tampaknya, kejadian yang berlangsung setahun terakhir ini kembali menegaskan bahwa soal siklus bisnis yang berujung kepada krisis/resesi jauh dari usai. Penyebabnya bukan sekadar kemampuan untuk mendesain kebijakan fiskal dan efektivitas bank sentral (sebagai punggawa kebijakan moneter), tetapi sumber krisis kian sulit diduga, tidak lagi disebabkan adanya krisis sistemik akibat tidak bertemunya “demand and supplyâ€. Singkatnya, operasi sektor keuangan yang tanpa kerangkeng menjadi virus yang sangat mematikan sendi dan siklus perekonomian.
Jadi, setahun terakhir ini terdapat dua hikmah penting yang sudah dibentangkan di depan mata para pembuat kebijakan ekonomi. Pertama, siklus bisnis tidak semata terjadi akibat adanya mata rantai yang terputus antara “sisi pernawaran†dan “sisi permintaanâ€, melainkan dapat muncul dari keteledoran menjaga sektor keuangan sebagai institusi intermediasi yang memfasilitasi dunia usaha. Implikasinya, begitu institusi keuangan jebol, maka dunia usaha ikut terpapar karena keterkaitan antara sektor bisnis (yang memproduksi barang/jasa) sudah sedemikian lekat dengan sektor keuangan. Kedua, pemulihan ekonomi yang dilakukan dengan jalan menggelontor anggaran (stimulus fiskal) dikombinasikan dengan kebijakan moneter yang kian ketat, sebagian telah menghasilkan kinerja yang bagus. Setidaknya, pemulihan ekonomi memerlihatkan tanda lebih cepat dari yang diperoyeksikan. Sungguh pun begitu, kecemasan yang masih harus diuji adalah implikasinya terhadap beban anggaran di masa depan.
Fokus Mikroekonomi
Deskripsi yang diuraikan di muka merupakan gambaran umum dari kebijakan yang dilakukan pada level global, tetapi pada masing-masing negara terlihat adanya perbedaan yang cukup beragam. Oleh karena itu, kesimpulan umum yang dinyatakan tersebut juga berlaku terbatas kepada negara yang mengamalkan kebijakan itu. Jika narasi di atas dikaitkan dengan kebijakan di Indonesia terdapat dua fakta yang perlu dikaji secara serius. Pertama, pemerintah juga mendesain stimulus fiskal yang lumayan besar, yakni Rp 73,3 triliun, namun dengan tingkat penyerapan yang amat payah. Sehingga, sulit mengaitkan pertumbuhan ekonomi yang masih bagus akibat adanya stimulus fiskal. Kedua, berbeda dengan negara-negara maju, otoritas moneter di Indonesia cenderung menghadapi krisis keuangan dengan meningkatkan Bi rate sehingga berimplikasi terhadap tingginya tingkat suku bunga (kredit). Dampaknya tentu mengguncang sektor riil, sehingga lagi-lagi pertumbuhan ekonomi yang diraih bukan akibat desain kebijakan moneter.
Walaupun ini masih dugaan awal, namun kinerja ekonomi Indonesia selama setahun terakhir menunjukkan bahwa keterkaitan sektor bisnis yang tidak terlalu lekat dengan sektor keuangan, misalnya pelaku UMKM dan sektor pertanian, menjadi sebab sebagian sektor riil tidak terlalu terguncang. Berikutnya, daya beli masyarakat tetap bisa dipelihara akibat krisis keuangan ini relatif hanya menjangkau sebagian pelaku bisnis yang bersandar kepada pasar internasional, yang untungnya sumbangan ekspor terhadap PDB cuma sekitar 28%. Sungguh pun begitu, jika realitas ini dijadikan argumen mengembalikan kebijakan ekonomi ke arah pasar domestik semata (inward-looking), maka kita akan memproduksi kesalahan lagi. Terakhir, pemerintah perlu belajar bahwa orientasi kepada kinerja ekonomi makro semata kerap hanya menghasilkan fatamorgana, sehingga lebih baik memerbaiki pemangku kebijakan pada level mikroekonomi ketimbang merawat pengambil kebijakan yang hanya cakap berwacana makroekonomi.
Kompas, 17 September 2009