Hampir satu dekade lampau, tepatnya pada 2006, Bank Dunia mempublikasikan total kekayaan negara-negara di dunia berdasarkan tiga klasifikasi: modal alam (natural capital), modal ciptaan (produced capital), dan modal yang tidak nampak (intangible capital). Penjumlahan ketiga modal itu menghasilkan kekayaan total/kapita (dibagi dengan jumlah penduduk). Berita baiknya, dibandingkan dengan negara Asean lain, semisal Singapura dan Filipina, kekayaan alam/kapita Indonesia jauh meninggalkan negara-negara tersebut, yakni senilai US$ 3.472. Dalam soal ini, Indonesia hanya kalah dari Malaysia dan Thailand. Tentu saja, bila hitungan ini dilakukan pada 1960-an, Malaysia dan Thailand mungkin masih kalah dari Indonesia karena SDA masih relatif utuh. Namun, warta buruknya, total kekayaan/kapita Indonesia menempati urutan paling buncit dari kelima negara ASEAN itu. Sebabnya, modal ciptaan dan kapital tidak berwujud Indonesia jeblok. Posisi Indonesia hanya lebih baik ketimbang China.
Ekonomi Ekstraktif
Manfaat SDA (sumber daya alam) akan berakhir bila kerakusan yang tak berujung mengalahkan akal sehat. Itulah yang saat ini terjadi di Indonesia sehingga hamparan SDA tidak pernah menjadi berkah, melainkan kutukan (terma ini diperkenalkan pertama kali oleh Sachs dan Warner, 1995). Dalam konteks ekonomi, sudah lama disimpulkan bahwa kelimpahan SDA suatu negara malah menjerumuskan negara tersebut dalam jurang kemiskinan yang dalam, sehingga muncul istilah ’resource curse hypothesis’. Sangat jarang ada teladan yang bisa dirujuk negara yang kaya SDA bisa menjadi bangsa yang makmur. Belanda merupakan kasus yang sering disebut, di mana kekayaan SDA migas yang dimilikinya justru memerangkap negara tersebut dalam situasi stagnasi. Fenomena Belanda inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan ’dutch disease’ (Penyakit Belanda). Indonesia, dengan pola yang sama, telah dan terus melanggengkan cerita klise itu: nyaris dengan cara yang sempurna.
Negara-negara yang diberi anugerah kekayaan SDA, termasuk Indonesia, terperangkap dalam model pengelolaan SDA yang ekstraktif, distortif, dan berdimensi jangka pendek. Data menunjukkan, sampai saat ini 6 dari 10 komoditas dengan nilai ekspor terbesar bertumpu dari SDA, seperti bahan bakar mineral, bijih besi, karet, kayu, dan lain sebagainya (BPS, 2013). Posisi itu hampir tidak ada perubahan yang berarti dalam kurun 30 tahun terakhir. SDA dieksploitasi habis-habisan sampai nyaris tak tersisa, seperti yang terlihat dari kasus sektor kehutanan. Demikian pula, pengelolaan SDA juga distortif karena hanya pelaku ekonomi tertentu yang memeroleh izin mengeksploitasi sehingga amanah konstitusi bahwa SDA digunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat jauh panggang dari api. Lebih parah lagi, pengelolaan SDA itu amat primitif dengan menjual dalam bentuk bahan mentah, sehingga cuma berdimensi jangka pandek dan tak bernilai tambah.
Di luar persoalan-persoalan di muka, literatur juga memberikan penjelasan yang beragam tentang penyebab berbagai masalah SDA dan lingkungan, seperti yang disampaikan oleh Alisjahbana (2006). Pertama, masalah eksternalitas, yaitu kegagalan pasar untuk memberikan gambaran biaya atau harga yang sesungguhnya dari suatu sumber daya kepada pelaku ekonomi atau pengambil kebijakan. Tidak adanya pasar untuk berbagai SDA dan lingkungan menjadikan pelaku ekonomi menganggap ongkos penggunaan sumber daya tersebut rendah atau bahkan sama sekali tidak ada. Kedua, kegagalan institusional, di mana terjadi ketidakjelasan terhadap hak kepemilikan (property rights) dari berbagai SDA dan lingkungan. Ketiga, kegagalan pemerintah atau kebijakan (policy failure), yakni kebijakan yang diambil pemerintah justru menimbulkan distorsi dan memberikan sinyal yang salah kepada pelaku ekonomi terhadap nilai yang sesungguhnya dari SDA dan lingkungan.
Penguasaan Negara
Jika dikuliti lebih dalam orientasi pengelolaan SDA di Indonesia sampai saat ini sebagian besar masih dijual (ekspor) dalam bentuk bahan mentah. Biji tembaga, misalnya, menyumbang ekspor pertambangan sekitar 9,3; biji nikel 3,1; batu bara 34,2; bauksit 2,5; minyak mentah 19; gas alam 24; gas alam cair 6,8, dan pertambangan lain 1,1 (semuanya dalam US$ miliar) {BI, 2013}. Dari data tersebut sebetulnya banyak hal miris yang bisa disampaikan. Pertama, seandainya hari ini sebagian besar komoditas pertambangan itu bisa diolah di dalam negeri, maka tentu besar sekali nilai tambah yang dihasilkan, baik dari segi pendapatan maupun penyerapan tenaga kerja. Bauksit, misalnya, seharusnya bisa diolah menjadi alumina dan diproses kembali menjadi aluminium. Kedua, tanpa disadari ekspor energi (seperti gas dan batu bara) menjadi amunisi negara lain untuk menggerakkan ekonominya. Malaysia, misalnya, 60% sektor industrinya tergantung dari (energi) batu bara Indonesia (Indef, 2013). Sebaliknya, industri domestik kesulitan mendapatkan pasokan gas dan batu bara.
Berikutnya, dari sisi investasi porsi sektor pertambangan sebetulnya tidaklah kecil terhadap total investasi. Sampai 2013, penanaman modal asing (PMA) di sektor pertambangan menyumbang sekitar 16,8% dari total PMA (US$ 4,8 miliar), sedangkan PMDN pertambangan mendonasikan sebesar 14,6% dari total PMDN (Rp 18,8 triliun) [BKPM, 2014}. Ini berarti investasi sektor pertambangan di Indonesia masih sangat besar dan menarik. Ketertarikan investasi itu bisa disebabkan oleh cadangan SDA yang masih tersedia, insentif kebijakan yang memadai, atau faktor lain terkait iklim investasi. Beberapa komoditas tertentu memang menunjukkan penurunan cadangan yang serius, seperti minyak mentah, namun sebagian besar lainnya masih memiliki cadangan yang banyak. Tentu cadangan yang besar bukan berarti harus dikuras secepatnya, namun pada saat seperti inilah diperlukan arah pengelolaan dan investasi pertambangan yang berkelanjutan dan lestari dalam jangka panjang.
Satu lagi yang perlu diperhatikan secara saksama adalah pelaku ekonomi di pertambangan. Jika merujuk kepada konstitusi, maka pertambangan seharusnya dikuasai oleh negara. Makna dikuasai bukan hanya dimiliki, tapi juga melakukan eksplorasi dan pengawasan. Namun, realitas menunjukkan dominannya peran swasta (asing) di sektor pertambangan, baik pada sisi hulu maupun hilir. Minyak dan gas, misalnya, pelaku ekonomi asing sedemikian besar perannya sehingga penguasaan negara (dalam pengertian luas) nyaris lenyap. Hal yang sama berlaku untuk komoditas lain, seperti emas dan tembaga. Pada sisi hilir juga sama saja, pabrik pengolahan tambang banyak dikuasai oleh asing, seperti PT Sebuku Iron Lateritic Ore, PT Agincourt Resources, dan PT Well Harvest Winning Alumina Refinery. Praktik ini sudah berjalan puluhan tahun, sehingga sulit dipahami jika pelaku ekonomi domestik, khususnya BUMN, tidak memiliki peran yang makin besar dari waktu ke waktu.
Ekonomi Rente
Pemerintah sebetulnya telah menyadari jalan sesat di atas dengan menerbitkan UU No. 4/2009 yang berisi tentang Minerba, pemegang izin usaha pertambangan/izin usaha pertambangan khusus, dan kontrak karya. Di dalam UU tersebut perusahaan pertambangan diwajibkan melakukan pengolahan dan pemurnian (smelting) hasil tambangnya di dalam negeri selambat-lambatnya 5 tahun sejak UU Minerba ini dikeluarkan. Kelembagaan ini memang masih jauh dari sempurna, tapi ketegasan menegakkan regulasi bahwa perusahaan tambang harus melakukan pengolahan merupakan langkah maju untuk menutup kekhilafan di masa lampau. Dengan kebijakan ini dua hal sekaligus akan dicapai. Pertama, ekonomi akan memiliki nilai tambah yang lebih besar sehingga kesejahteraan bangsa lebih mudah dicapai. Kedua, proses pengolahan bahan mentah mengurangi tensi eksploitasi karena fase ini mempersempit pasar output dibandingkan dengan jualan bahan mentah (persaingan lebih sengit).
Tapi, UU yang bagus itu mendapatkan tantangan yang berat dari kelompok kepentingan tertentu sehingga pemerintah hampir goyah dan mengubah aturan tersebut. Jika ini terjadi, tentu merupakan petaka dalam jangka panjang. Pemerintah harus kukuh dengan aturan itu, sebab hanya inilah jalan untuk menyelamatkan masa depan bangsa. Tidak boleh kebijakan ekonomi dijebak oleh kepentingan jangka pendek dan agenda sempit sebab pertaruhannya adalah kedaulatan ekonomi dan kepentingan generasi mendatang. Dalam jangka pendek memang perekonomian sedikit melambat (misalnya ekspor bahan mentah), tetapi hal itu akan segera dikompensasi oleh laba yang berlipat dalam jangka panjang, terlebih dari sumber daya alam yang bisa diperbarui. Â Seperti yang disampaikan di muka, agenda Indonesia saat ini adalah segera memperbesar modal ciptaan (produced capital), yang itu hanya bisa diperoleh dari proses ekonomi yang lebih modern (bernilai tambah).
Di samping itu, pekerjaan rumah lain yang penting saat ini adalah menghentikan praktik rente ekonomi. Wujud dari rente ekonomi itu adalah korupsi, konflik politik dan ketimpangan, kelembagaan ekonomi yang rapuh, aktivitas inovasi dan kewirausahaan macet, serta pengambil kebijakan lebih memilih transfer SDA ketimbang memodernisasi ekonomi negara (Neumayer, 2004). Tentu saja tidak ada solusi tunggal untuk mengatasi soal kronis ini. Tapi setidaknya tiga jalan berikut harus segera dimulai: (i) Â menghentikan penjualan bahan mentah SDA/tambang serta memberikan tempat yang seluas-luasnya bagi BUMN untuk menjalankan amanah konstitusi; (ii) melembagakan strategi ekonomi yang tidak menempatkan SDA tak terbarukan sebagai lokomotif perekonomian; dan (iii) memutus rente ekonomi dan perilaku korup sebagian pengurus negara yang masih tega menguras SDA untuk memenuhi syahwat material/kekuasaan yang tidak ada batasnya. Semoga negara ini masih dapat berkelit dari kutukan ekonomi akibat kelimpahan SDA.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef