Setelah begadang sampai lewat subuh untuk mengikuti pertandingan panjang Bayern Muenchen versus Chelsea, mari sedikit merenung. Jika perusahaan sedang stabil, bolehkah seorang eksekutif menerima gaji sampai Rp 2 miliar per bulan? Apabila korporasi keuangan sedang tidak mengalami krisis, bisakah karyawan dan bos menerima upah hingga sebanyak 30 bulan gaji dalam setahun? Andaikan badan usaha memeroleh laba yang menggiurkan, layakkah pemilik membagi bonus yang luar biasa tinggi kepada eksekutif dan staf perusahaan? Seluruh pertanyaan itu pasti mendapat jawaban positif dalam sistem ekonomi berbasis pasar. Pertanyaan berikutnya: apakah pasar punya batas moral (the moral limits of markets) dalam pemberian kompensasi? Jawabannya: negatif. Praktik itulah yang selama ini terjadi di lapangan ekonomi, baik sektor jasa/keuangan maupun produksi. Bahkan, ketika korporasi bangkrut sekalipun, sehingga pemerintah terpaksa menomboki (bail out), mereka tetap merasa sah memakai dana tersebut untuk membagi bonus.
Kultur Taipan
Isu moral itulah yang telah lama menggelisahkan Michael Platini, Presiden Union of European Football Association (UEFA). Salah seorang legenda sepakbola Eropa itu miris dengan tingkah para pemilik klub sepakbola elite Eropa yang terus mengumbar uang untuk memburu pemain-pemain hebat sehingga harga pemain menjadi melambung. Krisis ekonomi tak kuasa pula menekan harga pemain, karena para tycoon di balik klub itu hanya punya satu ambisi: menyabet juara. Inilah anomali Eropa hari ini: tiap pemerintah berupaya mengetatkan anggaran negara, tapi klub sepakbola terus mencetak “defisit anggaran†baru. Tengok saja pendarahan keuangan klub yang dialami oleh Manchester City, yang memenangi liga premier Inggris secara dramatis 2 minggu lalu, yang mengalami defisit sekitar US$ 45 juta akibat belanja pemain secara membabi buta. Platini juga geram saat Madrid membeli Ronaldo seharga US$ 131 juta saat krisis ekonomi global.
Kasus itu menarik karena dua hal pokok. Pertama, bagaimana menjelaskan krisis ekonomi tak jua berpengaruh terhadap harga transfer pemain sepakbola? Banyak sudut pandang untuk menjawab pertanyaan ini, namun yang paling kuat rasanya adalah perubahan kepemilikan klub dari semula bertumpu kepada kepemilikan kolektif (pemegang saham tersebar) ke model kepemilikan saham mayoritas. Taipan kakap dari negara Timur Tengah, Rusia, dan India yang tidak memiliki sejarah dengan sepakbola membeli klub sekadar untuk membuang “bunga depositoâ€. Inilah yang melatari Laksmi Mittal (raja baja) membeli Queen’s Park Rangers, Roman Abramovich (konglomerat Rusia) menyegel Chelsea, dan Sheikh Mansour (bohir UEA) mengantongi Manchester City. Nama-nama itulah yang menjadi aktor di balik kultur baru klub Eropa dengan gemerincing dolar.
Kedua, apakah secara moral pasar tidak dapat membatasi perilaku absurd tersebut? Pasar bekerja berdasarkan prinsip berikut: harga terbentuk akibat pertemuan antara permintaan dan penawaran. Jika permintaan meningkat, sementara pasokan tetap/turun, maka harga melambung; demikian sebaliknya. Tapi prinsip itu hanya bekerja bila faktor-faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus), misalnya selera, pendapatan, dan lain-lain. Jadi, jika pendapatan klub turun atau ekonomi sedang terjadi krisis, secara teoritis mestinya harga pasar pemain sepakbola itu turun/jatuh. Inilah satu-satunya batas moral pasar. Namun, hukum pasar itu tak berkutik dalam kasus ini  karena asumsi ceteris paribus tidak bekerja (aspek ambisi ataupun selera meruntuhkan tembok prinsip permintaan-penawaran). Kinerja keuangan klub boleh saja buntung, tapi pemilik bisa mengambil uang dari kantong lain untuk menginjeksi hasratnya.
Imoralitas Pasar
Hanya itukah yang menjadi sebab bisnis sepakbola kebal krisis? Opsi lain yang bisa dikembangkan adalah kemungkinan soal praktik pencucian uang (money laundering) dalam industri sepakbola. Riset yang dipublikaskan oleh Financial Action Task Force/FATF (2009) membuat skema betapa industri bola mudah disusupi praktik cuci uang karena aliran dana transfer pemain di luar kontrol negara dan supranasional organisasi sepakbola. Pola itu menjadi makin mulus sebab ditopang oleh komersialisasi sepakbola sejak dekade 1990-an (hak penyiaran dan sponsorsip) dan pasar pemain bola yang difasilitasi oleh globalisasi tenaga kerja. Modus cuci uang ini sedemikian beragam, seperti investasi ke klub yang mengalami kesulitan keuangan, jalur bisnis obat terlarang, dan kerjasama dengan agen sepakbola yang tidak berlisensi sehingga gemerlap dunia sepakbola nyaris tidak pernah padam meski gelombang krisis ekonomi menyapu Eropa.
Fenomena tersebut tentu tidak berdiri sendiri, namun kukuh akibat desain ekonomi yang memberi tempat terhadap segala bentuk ‘keliaranâ€. Jika transfer pemain dianggap melebihi batas moral akibat hiper-realitas yang dibentuk media, maka kejadian yang sama sudah dimulai di sektor swasta, khususnya sektor keuangan/perbankan. Bila betul geliat industri sepakbola sebagian dihidupi oleh praktik pencucian uang dan parkir dana dari bisnis lain, semacam minyak, maka pola yang sama juga diadopsi oleh industri lainnya, seperti fesyen. Gaji pemain bola yang dibandrol US$ 50 juta semusim sama absurdnya dengan nilai tas tangan merk tertentu yang menembus Rp 2 miliar per bijinya. Harga keduanya merayap naik saat krisis ekonomi makin dalam. Platini dan peraih Nobel Ekonomi Stiglitz, saya rasa, benar ketika berpikir bahwa pasar tidak adil. Pada titik inilah regulasi harus hadir: bukan sekadar untuk mengatasi krisis, tapi melumpuhkan imoralitas pasar. Selebihnya adalah pilihan ideologi, yang mampu menggerakkan Hollande (Presiden Prancis) dan kabinetnya memotong 30% gaji karena krisis ekonomi!
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef