Indonesia meninggalkan perekonomian 2011 dengan banyak catatan, baik yang menyedihkan maupun menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi, inflasi, cadangan devisa, nilai tukar, dan investasi merupakan beberapa berita menggembirakan yang berhasil dicapai, meskipun tetap ada keterangan di balik keberhasilan tersebut. Di sisi lain, beragam kisah pedih juga memantul dengan jelas, seperti penduduk miskin dan hampir miskin yang meningkat, pertumbuhan impor (pangan) yang naik, daya saing ekonomi melorot, pembangunan infrastruktur yang lambat, penyerapan anggaran yang makin memburuk, dan lain sebagainya. Di tengah-tengah kisah sedih dan bahagia tersebut terdapat cerita kinerja ekspor. Data BPS (2012) melaporkan angka-angka sebagai berikut. Pada 2011 ekspor Indonesia untuk pertama kalinya menembus US$ 200 miliar, tepatnya US$ 203,6 miliar. Pertumbuhan ekspor ini sebesar 29,05% dibandingkan 2010. Namun, pedihnya, pertumbuhan impor 2011 juga sangat tinggi, yakni 30,69% terhadap 2010 (total impor 2011 US$ 177,3 miliar) .
Rincian Kinerja Ekspor
Pertumbuhan dan akumulasi ekspor tersebut sebetulnya bisa lebih tinggi lagi jika penurunan pada triwulan keempat 2011 dapat dihindari. Misalnya, September 2011 nilai ekspor sebesar US$ 17,54 18,64%. Selanjutnya, Oktober meluncur turun lagi menjadi US$ 16,95 miliar, naik menjadi US$ 17,23 miliar pada November, dan jatuh lagi menjadi US$ 17,19 miliar pada Desember 2011. Penurunan tersebut agak sulit dihindari mengingat makin lemahnya perekonomian AS dan Eropa akibat krisis ekonomi. Padahal, AS dan Eropa merupakan pasar yang cukup besar bagi ekspor Indonesia. Sampai hari ini pemerintah masih belum mengamalkan saran lama yang masih relevan sampai kini, yaitu membuka pasar non-tradisional bagi ekspor nasional. Sebagian besar ekspor Indonesia lari ke Jepang, Eropa, Asean, dan China. Jika salah satu pasar tersebut terganggu, maka kinerja ekspor merosot. Oleh karena itu, diversifikasi negara tujuan ekspor merupakan pekerjaan rumah yang masih harus dituntaskan.
Berikutnya, struktur ekspor masih didominasi oleh non-migas, yang memberi donasi sebesar 79,57% (US$ 162,02%). Struktur ekspor ini memertahankan pola yang sudah lama berjalan dan dalam beberapa aspek hal ini positif. Jika dilihat lebih detail, ekspor sebagian besar masih ditopang oleh komoditas primer (sumber daya alam), seperti batu bara, kelapa sawit, dan karet. Sungguh pun begitu, kenaikan itu sebagian bukan disebabkan oleh volume yang meningkat, tapi lebih karena harga yang membaik di pasar internasional. Jadi, di sini ada dua poin yang perlu diperhatikan: kinerja ekspor sebagian diselamatkan oleh harga internasional yang meningkat dan kebutuhan mendesak untuk mendiversifikasi komoditas ekspor. Ketergantungan terhadap komoditas sumber daya alam selalu saja mencekam, bukan saja oleh sebab nilai tambahnya kecil, tapi juga harganya yang fluktuatif di pasar internasional. Ini harus lekas disambut dengan kebijakan yang tepat dan cepat oleh pemerintah.
Sementara itu, komoditas ekspor yang menurun nilainya antara lain adalah kayu, barang dari kayu (menurun 67,04% dari 2010); kakao/coklat (-53,57%); barang-barang fotografi/sinematografi (-59,26%); buku dan barang cetakan (-30,58%); dan tembakau (-15,34%). Tentu pemerintah perlu berjibaku mengembalikan peran komoditas tersebut dalam pentas ekspor Indonesia, khususnya pada tahun ini.   Menarik juga diamati bahwa untuk pertama kali negara tujuan ekspor terbesar Indonesia pada 2011 adalah China (13,3%), disusul Jepang (11,31%), dan AS (9,68%). China pada 2006-2008 posisinya masih nomor 4, pada 2009 naik ke nomor 3, setelah itu nomor 2 (2010), dan menjadi pemuncak pada 2011. Sampai tahun lalu Jepang selalu menempati urutan pertama. AS selalu menjadi runner-up sejak 2006-2009, namun merosot ke nomor 3 pada 2010 dan 2011 (Kementerian Perdagangan, diolah). Posisi strategis China ini nampaknya akan terus bertahan dalam jangka panjang.
Tranformasi Ekonomi
Bagaimana dengan kinerja impor 2011? Terdapat dua catatan yang menarik disimak. Pertama, persentase impor bahan baku/penolong mencapai 74,14% (sampai November 2011). Angka ini naik ketimbang periode yang sama 2010 yang sebesar 72,79%. Meskipun persentase kenaikan itu relatif kecil, tapi secara nominal cukup fantastis, dari US$ 89,1 miliar (Januari-November 2010) menjadi US$ 119,3 miliar (Januari-November 2011). Ini artinya, sebagian pertumbuhan sektor manufaktur di Indonesia ditopang oleh komoditas yang bahan bakunya berasal dari luar negeri. Kedua, impor pertanian dan kehutanan terus menanjak cepat, tapi tidak diiringi dengan peningkatan ekspor yang signifikan. Misalnya, pada 2009 impor pertanian dan kehutanan baru US$ 16,3 miliar, tapi pada 2010 sudah melonjak hingga US$ 20 miliar. Sampai Juli 2011 nilai impor komoditas tersebut sudah menembus US$ 16 miliar. Dan ini yang penting, surplus perdagangan di sektor ini terus merosot dari US$ 19,8 miliar (2009), US$ 17,8 miliar, dan sampai Juli 2011 hanya surplus US$ 4,6 miliar (BPS, 2011).
Deskripsi di muka sebetulnya telah memberikan sinyal terang soal peta perdagangan internasional (ekspor-impor). Dari situ pula beberapa agenda mendesak perlu diambil pemerintah. Pertama, tak jemu untuk diulangi lagi bahwa pemerintah tidak bisa lain harus cepat mendiversifikasi daerah tujuan dan komoditas ekspor. Indonesia telah ketinggalan 20 tahun dalam soal ini, sehingga nyaris struktur negara tujuan dan komoditas ekspor saat ini persis dibandingkan dengan situasi dua dekade lalu. Konsentrasi pada negara tujuan dan komoditas tertentu akan membahayakan apabila kondisi ekonomi global sedang tidak sehat, seperti yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Kedua, jika komoditas industri/jasa yang dikembangkan tidak berbasis bahan baku domestik, maka kenaikan ekspor pasti akan diiringi oleh pertumbuhan impor, bahkan dalam jumlah yang lebih tinggi. Jadi, pohon industri berbasis bahan baku lokal perlu disiapkan dan diimplementasikan secepatnya.
Terakhir, makin lama disadari bahwa kedaulatan pangan kian terancam seiring ketidaksanggupan pemerintah memproduksi beberapa komoditas penting kebutuhan rakyat, seperti beras, kedelai, jagung, gula, daging, susu, kedelai, buah-buahan, dan lain-lain. Pemerintah sudah membuat roadmap swasembada komoditas-komoditas tersebut, tapi yang terjadi justru sebaliknya: impor malah meningkat. Akibat dari situasi ini sangat jelas: harga pangan naik dengan cepat, sulit menurunkan kemiskinan, penyerapan tenaga kerja tersendat, dan pembangunan industri berbasis pertanian jadi terhambat. Pemerintah boleh saja melakukan transformasi ekonomi, namun mengabaikan pembangunan sektor pertanian dalam proses tersebut seperti halnya mencerabut akar tunggang hidup sebagian besar masyarakat. Implikasinya bahkan bisa lebih jauh: kredibilitas pemerintah runtuh dan stabilitas politik terguncang. Semua pihak tentu tidak ingin hal ini terjadi, tapi sungguh waktu pemerintah tidaklah banyak.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef