Tahun ini, nampaknya, pemerintah kembali akan menggenjot privatisasi yang sempat terinterupsi pada 2005-2006. Di luar BUMN yang sudah masuk prioritas, misalnya empat bank pemerintah, PT. PGN, PT Jasa Marga, dan PT Indonesia Power (JP, 20/03/2007), pemerintah masih akan menambah beberapa BUMN yang bakal masuk ‘kandang’ privatisasi. Publik, seperti biasa, terbelah menjadi dua kutub: satu pihak mengamini rencana tersebut dan dipihak lain mengutuk upaya itu. Pihak yang sepakat memercayai bahwa privatisasi merupakan satu-satunya jalan untuk membuat kinerja BUMN menjadi efisien, inovatif, dan sehat. Sebaliknya, pihak yang menolak meyakini bahwa privatisasi justru akan menjauhkan misi pelayanan publik yang mesti dinafkahi oleh pemerintah. Di luar itu, pihak yang terakhir ini melihat keganjilan mengapa justru BUMN bagus yang hendak dilego, padahal BUMN buruk yang mestinya dijual terlebih dulu oleh pemerintah.
Spektrum Privatisasi
Sejak dekade 1980-an, privatisasi merupakan agenda reformasi ekonomi terpenting yang dijalankan oleh banyak negara. Tercatat pada pertengahan tahun 1970-an sampai akhir dekade 1980-an, nilai privatisasi dunia mencapai 185 miliar dollar. Pada 1990 pemerintah di seluruh dunia berhasil menjual perusahaan publiknya senilai 25 miliar dollar, diteruskan pada 1992 yang mencapai nilai total 69 miliar dollar, dan sekurangnya menembus angka 175 miliar dollar antara 1990-1993. Aset yang diprivatisasi tersebut diperkirakan melonjak menjadi lebih dari 600 miliar dollar pada akhir tahun 2000 (Guseh, 2001). Dari data-data tersebut terlihat betapa kecenderungan privatisasi terus meningkat dan dijadikan model dari seluruh tatanan pengelolaan bisnis global. Tentu saja maraknya privatisasi itu juga tidak lepas dari dorongan lembaga donor, seperti World Bank dan IMF, yang sejak dekade 1980-an mempromosikan kebijakan penyesuaian struktural bagi negara berkembang.
Sebetulnya, untuk merumuskan tujuan privatisasi itu sendiri tidaklah sederhana. Beberapa negara memiliki target yang berlainan dalam penyelenggaraan privatisasi. Tetapi dari pengalaman beberapa negara tersebut, setidaknya terdapat lima tujuan yang bisa diidentifikasi dari proses privatisasi: (i) sebagai instrumen untuk meningkatkan pendapatan negara/pemerintah; (ii) untuk menyebar bagian kepemilikan (aset) disebuah negara; (iii) diharapkan berimplikasi pada perbaikan distribusi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat; (iv) mengurangi masalah yang timbul dalam hal pembayaran di sektor publik; dan (v) mengatasi kinerja yang buruk pada industri (perusahaan) nasional (negara) [Munday, 1996). Begitulah, tujuan dari privatisasi membentang dari mulai alat untuk meningkatkan pendapatan negara sampai pada tujuan perbaikan distribusi pendapatan. Kejelasan inilah yang mesti disampaikan oleh pemerintah sehingga publik memiliki panduan untuk menilai layaknya tidaknya privatisasi.
Pengalaman Portugal barang kali bisa dijadikan pertimbangan, di mana privatisasi yang dikerjakan harus berada dalam kerangka hukum dengan beberapa tujuan pokok. Setidaknya terdapat 7 sasaran penting dari proyek privatisasi di Portugal: (i) memodernisasi perusahaan melalui peningkatan daya saing dan kebutuhan restrukturisasi; (ii) penguatan kapasitas kewirausahaan nasional; (iii) pengurangan peran negara dalam perekonomian; (iv) pengembangan pasar modal; (v) perluasan bagian kepemilikan bagi warga Portugal (pribumi); (vi) menjaga kepentingan negara dalam perekonomian; dan (vii) mengurangi beban utang negara dalam perekonomian (Munday, 1996). Tampak bahwa privatisasi di Portugal digunakan sebagai instrumen untuk mengubah dasar-dasar makro perekonomian, bukan semata menambah pendapatan negara. Dalam konteks Indonesia, tujuan privatisasi itu dapat dimodifikasi sesuai dengan persoalan ekonomi yang berkembang.
Perangkap Privatisasi
Di Indonesia, argumentasi bahwa privatisasi bukan merupakan satu-satunya jalan keluar untuk menyehatkan BUMN salah satunya bisa dibaca dari kajian Irwanto (2006), yang memperlihatkan tidak seluruh variabel kinerja (keuangan) perusahaan menjadi lebih baik setelah privatisasi. Untuk variabel ROE (return on equity), penjualan riil, dan rasio utang terhadap aset memang menunjukan perbaikan. Tapi untuk ROA (return on assets) dan ROS (return on sales) tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan setelah privatisasi. Kasus di Mesir memberi pelajaran yang berharga pula bahwa privatisasi perbankan malah menurunkan rasio profitabilitas dan likuiditas (Omran, 2007). Jika aspek nonekonomi lain juga turut dipertimbangkan, seperti soal nilai strategis perusahaan terhadap negara (misalnya telekomunikasi) atau korporasi yang bergerak dalam eksplorasi sumber daya alam, tentu semakin menambah daftar keberatan privatisasi sebagai langkah terbaik untuk memperlakukan BUMN.
Akhirnya, privatisasi sendiri dalam banyak contoh tidak selalu menghasilkan kabar yang menggembirakan, seperti yang terjadi di negara-negara Eropa Timur. Sebaliknya, pendekatan Asia yang menempuh upaya-upaya perluasan otonomi dan akuntabilitas terhadap BUMN sebagian malah menunjukkan kinerja yang lebih baik, seperti yang berlangsung di Vietnam. Kesimpulannya, negara-negara Asia menganggap yang diperlukan oleh sebuah perusahaan untuk mengembangkan diri adalah adanya otonomi dan akuntabilitas, bukan terletak pada masalah kepemilikannya: apakah dimiliki oleh negara atau swasta. Sementara, negara-negara Eropa Timur yang percaya bahwa pasar (swasta) akan lebih mampu secara efisien memajukan perusahaan, nyatanya sampai kini malah terjerembab dalam proyek privatisasi tersebut. Dengan begitu, rasanya diperlukan ekstra kehati-hatian untuk menyikapi privatisasi jika tidak ingin terperangkap dalam belitan ekonomi yang tidak ada ujungnya.
Jawa Pos, 4 Juni 2007
*Ahmad Erani Yustika, dosen Departemen Ilmu Ekonomi Unibraw
dan Direktur Eksekutif ECORIST (The Economic Reform Institute)