“Waras dan “beras†adalah tiang terpenting bagi kaum miskin. Waras (sehat jasmani dan jiwa) adalah modal bagi mereka untuk bekerja saat ini, meski kadang tak ada kepastian esok hari. Jika sakit dan tak bisa bekerja, status hidup mereka langsung merosot. Jika semula berada dalam kelompok “hampir miskinâ€, akibat sakit mereka masuk gerbong “miskin†atau “sangat miskinâ€. Demikian pula, beras merupakan simbol kecukupan kebutuhan pokok yang paling utama. Sebagian besar konsumsi kelompok miskin dihabiskan untuk pangan, khususnya beras. Jika beras masih tersedia, maka mereka bisa ngguyu (tersenyum), tak peduli situasi politik sedang berisik. Sebaliknya, bila beras sudah tak ada di dapur, maka dunia terasa gelap. Itulah sebabnya sejak dulu pemerintah menjaga stabilitas pasokan dan harga beras, di mana raskin (beras untuk orang miskin) menjadi bagian dari mata rantai.
Tanggul hidup warga miskin akhir-akhir ini nyaris jebol karena problem beras tersebut. Tetiba harga beras melejit dan pada saat yang bersamaan (pada akhir 2014) raskin tak lagi dibagikan. Raskin kembali dihidupkan setelah harga beras melonjak. Namun, distribusi raskin dianggap bermasalah, di luar kualitas yang rendah. Stok raskin di beberapa daerah tak memadai sehingga belum bisa menyentuh kepada seluruh target. Data juga relatif tak ada pembaruan yang berakibat sulit menjangkau sasaran yang tepat. Cerita ini masih ditambah lagi dengan mutu beras raskin yang tak meyakinkan sehingga sebagian tak laik konsumsi, kecuali harus dicampur terlebih dulu. Bahkan, sebagian di antaranya harus dijual murah sehingga tujuan raskin tak sepenuhnya tergapai. Sontak, raskin yang diangankan sebagai mata air harapan agak pudar menjadi air mata kepedihan.
Jika dirumuskan dalam matriks persoalan, sengkarut itu bersumbu dari tiga hal berikut: kebijakan, kelembagaan, dan eksekusi. Kebijakan makroekonomi sejak lama memang makin menjauh dari tujuan stabilitas pasokan dan harga beras (dan komoditas pertanian lainnya). Subsidi pertanian dipangkas, perdagangan internasional dibuat telanjang (dengan tarif yang amat rendah), dan badan penjaga stabilitas pangan disunat peranannya (Bulog). Rincian masalah tentu lebih rumit dari ketiga hal itu, namun secara umum sumber instabilitas mengalir dari sana. Jalan keluarnya jelas: kebijakan makroekonomi mesti dikembalikan ke jalurnya semula, yakni menggerakkan sektor pertanian dengan aneka insentif agar produksi meningkat, sinyal ekspor-impor terkelola dengan baik, dan badan penyangga punya daya dengan tenaga penuh.
Pada aras yang kedua, problem kelembagaan menyeruak kasat mata. Namun, sebagian besar berakar dari absennya kelembagaan untuk meregulasi pasar, menstabilisasi pasar, dan melegitimasi pasar (Rodrik dan Subramanian, 2003). Faktor “pasar†ditekankan karena Indonesia mengelola ekonomi dengan arah dominasi mekanisme pasar yang kian besar. Dalam kasus regulasi pasar, masalah yang menonjol adalah ketiadaan ikhtiar mengatasi oligopoli perdagangan dan asimetri informasi. Problem klise ini tak digarap sehingga pasokan dan harga sepenuhnya dikontrol oleh yang menguasai pasar (yang distortif tersebut). Berikutnya, instrumen yang dipakai pemerintah untuk mengendalikan inflasi makin terbatas, khususnya setelah harga BBM sebangun dengan harga pasar. Sementara itu, pranata legitimasi pasar amat tak memadai akibat kebijakan redistribusi dan perlindungan sosial yang minim.
Pada level eksekusi tingkat keberhasilannya dipengaruhi oleh dua hal pokok: kelengkapan kebijakan (dan kelembagaan) dan sumber daya (juga pengetahuan). Kebijakan dan kelembagaan, seperti di sampaikan di muka, jelas tak memberi ruang eksekusi bisa dijalankan dengan baik, karena tak ditopang oleh formasi lingkungan yang mendukung (enabling environment). Celakanya, sumber daya (anggaran, birokrasi, dan pengetahuan) juga tak sigap dikelola dan dikoordinasi. Fleksibilitas Bulog terkendala anggaran (juga regulasi), birokrasi bekerja dengan inisiatif yang tak optimal, dan stok pengetahuan (dalam wujud data pasokan dan warga yang berhak menerima) tak sepadan dengan volume masalah. Deskripsi ini sebetulnya sudah memberi panduan pada titik mana persoalan itu menyembul dan dengan kebijakan (kelembagaaan) apa mesti diformulasikan pemecahannya.
Selebihnya, tak boleh dialpakan bahwa kerentanan pangan dan perlindungan kelompok miskin terjadi berbarengan dengan pudarnya nilai-nilai (informal) dan lembaga lokal. Modernisasi ekonomi yang menyulap lalu lintas transaksi dengan panduan “profit†telah meluluhlantakkan kelekatan sosial yang menjadi instrumen redistribusi ekonomi yang tangguh di zaman dulu. Tradisi “jimpitan†dan lumbung beras, misalnya, yang di masa silam menjadi instrumen proteksi kaum miskin dari kekurangan pangan (beras) telah musnah digantikan pranata formal yang diinisiasi pemerintah. Organisasi ekonomi yang berwatak kerakyatan, seperti koperasi, digempur oleh mesin korporasi yang mengabdi kepada agenda tunggal: laba. Jadi, jelas urusan pangan, beras, dan raskin bukan sekadar perkara teknis pasokan dan cara membagi, tapi juga kesetiaan kepada garis (ekonomi) konstitusi.
Â
Â
*Ahmad Erani Yustika, Ekonom Universitas Brawijaya;
Direktur Eksekutif Indef
Â