Indonesia memasuki 2014 dalam kondisi kebugaran yang kurang bagus. Dari sisi ekonomi ada banyak problem yang membuat postur Indonesia agak limbung: defisit neraca perdagangan/transaksi berjalan, inflasi tinggi, pertumbuhan ekonomi tertekan, kemiskinan dan pengangguran meningkat, ketimpangan pendapatan menganga, dan pertumbuhan investasi tersendat. Situasi ini sebagian besar disumbang oleh ketidakmampuan pemerintah memitigasi dampak kenaikan harga BBM pada Juli 2013 dan ekonomi luar negeri yang masih terperangkap krisis (AS, Eropa, dan lain sebagainya). Faktor lainnya adalah ketidaksanggupan pemerintah menjalankan agenda reformasi ekonomi, pendalaman industrialisasi, dan eksekusi kebijakan yang lemah. Sementara itu, pada 2014 ini melekat dua hal yang tak mungkin dihindari: rezim ini akan mengakhiri kekuasaan pada Oktober 2014 dan sekaligus menjalankan mandat pemilihan umum (legislatif dan presiden). Dengan begitu, waktu tak lagi bersahabat dan fokus akan terbelah untuk perhelatan politik.
Data Ekonomi Terkini
Beberapa data berikut bisa menggambarkan tingkat kebugaran ekonomi nasional memasuki 2014 (seluruh data dari BPS). Sampai November 2013 tercatat nilai ekspor Indonesia sebesar US$ 165,57 miliar, sedangkan total impor US$ 171,17 miliar. Jadi sampai akhir 2013 diproyeksikan neraca perdagangan defisit sekitar US$ 5 miliar. Jika dipisah antara migas dan nonmigas, maka ekspor migas 2013 (sampai November) US$ 29,21 miliar dan impor migas US$ 41,04 miliar. Sementara itu, ekspor nonmigas US$ 136,36 miliar dan total impor nonmigas US$ 130,13. Jadi, pada perdagangan nonmigas masih terdapat surplus, sedankan defisit didonasikan oleh perdagangan migas. Pemerintah menyikapi kondisi tersebut dengan jalan menaikkan harga minyak agar defisit perdagangan migas tidak membengkak. Namun, secara keseluruhan kebijakan tersebut tidak mampu mengatasi defisit, hanya mengurangi tekanan saja.
Akibat dari kebijakan kenaikan harga minyak itu membuat tingkat inflasi melesat jauh dari proyeksi pemerintah, yakni 8,38% (target pemerintah 7,2%). Harga minyak, transportasi, makanan, dan beberapa komoditas pangan menjadi sumber terpenting kenaikan inflasi sepanjang 2013. Secara lebih rinci 10 komoditas paling tinggi sumbangan terhadap inflasi adalah: bensin, tarif angkutan dalam kota, bawang merah, tarif, cabai merah, ikan segar, beras, nasi dengan lauk, tarif sewa rumah, dan rokok kretek filter. Realitas ini merupakan pengulangan peristiwa 2005 dan 2008 yang lalu, di mana tingkat inflasi melambung akibat kenaikan harga minyak. Inilah yang menyebabkan angka kemiskinan menjadi meningkat dari 11,37% (Maret 2013) menjadi 11,47% (September 2013). Hal yang sama juga terjadi pada kasus tingkat penganguran terbuka, di mana pada September 2013 masih sebesar 5,9%. Inilah ongkos yang harus ditanggung pemerintah akibat kegagalan memitigasi kenaikan harga minyak.
Situasi ini kemudian direspons oleh Bank Indonesia dengan menaikkan BI rate sampai ke level 7,5% (dari semula 5,75%). Akibatnya, tingkat suku bunga (kredit) bank ikut merangkak dan membuat pertumbuhan kredit menurun ketimbang 2013. Di luar itu, sektor perbankan saat ini juga dihantui oleh tekanan kredit macet, di luar kesulitan likuiditas. Salah satu dampak dari kenaikan bunga kredit tersebut adalah perlambatan investasi. Sampai November 2013 investasi asing baru mencapai US$ 14,2 miliar, sedangkan pada 2012 investasi sebesar US$ 19,4 miliar. Sampai akhir 2013 investasi rasanya asing tidak akan tembus US$ 16 miliar (lebih rendah ketimbang 2012). Di sisi lainnya, utang pemerintah naik siginifikan, yakni Rp 1.977,71 triliun (2012) menjadi 2.354,53 triliun (November 2013). Jadi, hanya dalam setahun utang naik hampir mencapai Rp 400 triliun. Sebagian besar utang itu berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai Rp 1.663,61 triliun, sedangkan utang luar negeri Rp 688,98 triliun.
Agenda Domestik
Malangnya, pada 2014 ini tak banyak optimisme yang dapat ditumbuhkan untuk memerbaiki kondisi perekonomian, baik oleh sebab situasi ekonomi yang kurang menguntungkan maupun beban politik yang cukup berat. Dari sisi ekonomi, negara-negara maju belum ada tanda-tanda perbaikan yang berarti. AS telah menunjukkan pemulihan yang cukup impresif, misalnya adanya pengurangan pengangguran dan perbaikan pertumbuhan ekonomi. Tapi perbaikan ekonomi di AS seperti buah simalakama bagi Indonesia. Ketika ekonomi AS bagus, sangat mungkin pemerintah di sana akan melakukan tapering-off dan itu akan membuat terjadinya capital outflow sehingga nilai tukar rupiah kembali tertekan. Sementara itu, ekonomi di Eropa tidak banyak berubah, belum ada perbaikan yang meyakinkan ketimbang 2013 lalu. Situasi di Eropa memang lebih sulit karena dengan adanya ikatan Uni Eropa dan Euro-zone membuat kebijakan ekonomi tidak fleksibel bagi tiap-tiap negara anggota.
Kondisi tersebut memaksa pemerintah pada 2014 ini berorientasi kepada optimalisasi ekonomi domestik. Beberapa hal pokok yang bisa dilakukan pemerintah adalah: Pertama, menggunakan APBN dengan sebaik-baiknya, khususnya untuk mendorong alokasi anggaran bagi sektor pertanian dan industri, di samping belanja modal (untuk pembangunan infrastruktur). Alokasi pertanian dan industri diharapkan dapat mengatasi persoalan tingginya tingkat kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan. Kedua, meninjau ulang kebijakan kontraktif yang dijalankan oleh Bank Indonesia agar investasi bergairah kembali. Rezim tingkat suku bunga tinggi harusnya direlaksasi karena tekanan inflasi 2014 ini sudah mereda. Jangan ada lagi kebijakan kenaikan harga listrik, minyak, dan gas yang drastis sehingga mengganggu stabilitas perekonomian. Jika memang situasi memaksa, sebaiknya kebijakan pengendalian konsumsi yang diprioritaskan oleh pemerintah.
Berikutnya, pendalaman industrialisasi mesti dipercepat, apalagi pemerintah sudah berani melarang ekspor bahan mentah, khususnya minerba. Momentum ini harus dimanfaatkan untuk memodernisasi ekonomi nasional dengan pilar penguatan teknologi dan nilai tambah. Jika ini dijalankan secara konsisten dalam jangka panjang, maka potensi peningkatan penerimaan negara, kinerja ekspor, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, dan penguatan nilai tambah akan cepat diperoleh. Hambatan terbesar untuk mengerjakan agenda ini adalah kapasitas birokrasi dan perayaan politik sepanjang 2014. Kapasitas birokrasi yang rendah membikin eksekusi kebijakan berjalan lambat, seperti yang dialami selama ini. Perayaan politik membuat fokus kabinet (termasuk presiden) menyebar, yang dalam banyak hal akan mengorbankan kepentingan ekonomi. Tidak boleh dilupakan pula, tumpeng ekonomi pada tahun politik rawan dipotong dengan cara yang tidak benar, seperti peristiwa Bank Century 5 tahun lalu. Kita berharap, pemerintah saat ini meninggalkan panggung kekuasaan tanpa banyak noda.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef