Penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) kembali menuai masalah di beberapa daerah. Di Jawa Timur, keputusan UMK yang telah dikeluarkan oleh gubernur ditolak serikat pekerja dengan alasan jumlah UMK yang ditetapkan di bawah kebutuhan hidup minimum. Masalah UMK ini sampai beberapa tahun ke depan akan terus mengalami pola serupa jika tidak ada penyelesaian komprehensif, khususnya dari pemerintah (pusat maupun daerah). Tulisan ini berargumentasi bahwa pemerintah pusat tidak boleh lepas tangan dalam penentuan UMK karena sebagian persoalan berada di tingkat pusat. Singkatnya, sebagian beban biaya produksi yang ditanggung oleh pengusaha bersumber dari tata kelola pemerintah pusat yang tidak baik, misalnya pungutan liar, inefisiensi listrik dan infrastruktur, dan iklim investasi yang tidak mengalami perbaikan. Jika seluruh beban tersebut ditimpakan kepada pengusaha dan pemerintah daerah, maka tidak ada pemerataan beban dalam menyelesaikan persoalan UMK tersebut.
Transmisi Beban Kebijakan
Kasus tarik ulur antara pemerintah daerah (pemda), pengusaha, dan buruh dalam konteks penentuan upah minimum sangat menarik diamati setidaknya karena dua hal. Pertama, pemda posisinya terjepit bukan karena ditekan oleh pengusaha (seperti biasa terjadi di masa lalu), tetapi akibat beban kebijakan warisan pemerintah pusat. Dalam konteks inilah bisa dipahami sikap yang diambil oleh beberapa kabupaten yang secara resmi menolak UMK yang dikeluarkan oleh gubernur yang dinilai terlalu rendah. Kedua, baik pengusaha maupun buruh tidak terlalu saling menyudutkan dalam persoalan negosiasi UMK karena masing-masing memahami atas beban yang dipikulnya. Pengusaha memiliki beban biaya produksi yang meningkat, sementara buruh mempunyai beban biaya hidup yang meroket. Dalam situasi seperti inilah pemda dibiarkan sendirian menghadapi masalah itu, padahal pokok persoalan yang muncul sesungguhnya sebagian diproduksi oleh pemerintah pusat.
Jika soal tersebut hendak dirumuskan dalam kalimat sederhana, maka sebetulnya yang terjadi adalah adanya mekanisme transmisi beban kebijakan dalam kasus kenaikan harga BBM. Singkatnya, pemerintah pusat mengambil sikap lepas tangan (hand-off) atas dampak kebijakan yang diciptakannya. Pada tahun-tahun sebelumnya, kenaikan UMK kurang terlalu menimbulkan gejolak karena tidak ada kebijakan pemerintah pusat yang beban sepenuhnya didesentralisasikan kepada pemda. Dalam kasus kebijakan yang paling spektakuler sekalipun, misalnya BLBI, pemda relatif tidak menerima imbas kebijakan itu sebab dana yang menguap dari kasus itu tidak secara langsung memengaruhi kegiatan ekonomi di daerah. Kalaupun ada pengaruhnya, kebijakan BLBI itu hanya menggerogoti anggaran negara sehingga mengurangi pengeluaran dana pembangunan. Sebaliknya, kenaikan harga BBM –misalnya- telah menyudutkan pengusaha dan buruh, tetapi cuma pemda yang diminta mengatasinya. Fakta inilah yang kurang dipahami secara baik oleh pemerintah pusat.
Distribusi Beban
Lantas, dari kecamuk negosiasi UMK tersebut, apa yang bisa dilakukan untuk bisa menyelesaikan persoalan? Jawabnya, tidak ada cara lain masing-masing pihak harus memikul beban yang sepadan agar persoalan ini tuntas. Pertama, pemerintah pusat (dan daerah) harus segera menghilangkan segala bentuk praktik pemerasan kepada para investor (pengusaha). Seperti dipahami, jamak diketahui bahwa komponen biaya dari operasi korporasi di Indonesia sejatinya sebagian berupa ongkos transaksi (transaction costs) dan bukan semata biaya produksi. Biaya transaksi ini bisa tersamar sebagai ongkos kolusi guna mengamankan usaha maupun biaya tersurat yang bersinggungan dengan kebijakan pemerintah (pajak/retribusi). Dalam kasus korporasi Indonesia, biaya-biaya tersebut sekurangnya mendonorkan 20-30% dari total biaya korporasi (Pasaribu, 1996). Dalam teori ekonomi kelembagaan, biaya-biaya tersebut dikenal sebagai ‘political transaction costs’.
Kedua, pengusaha diharapkan dapat menerapkan UMK (yang layak seperti tuntutan pekerja) sebagai konsekuensi penghapusan beban dari praktik pembalakan yang dilakukan aparat pemerintah/birokrasi. Di luar itu, pengusaha juga harus rela menaikkan UMK sebab rata-rata biaya pekerja (labor costs) di Indonesia hanya 7-9 persen dari total biaya operasi perusahaan. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 25-29% dan Thailand yang berkisar 19-21%. Artinya, setiap kenaikan persentase upah tidak lantas berarti mengurangi efisiensi perusahaan karena sebagian efisiensi tersebut tergantung dari variabel di luar upah pekerja. Bahkan studi yang saya lakukan pada industri gula, khususnya di pabrik gula, sekitar 50% ongkos perusahaan dalam wujud biaya transaksi berupa -antara lain- sistem administrasi dan manajemen, termasuk praktik suap.
Ketiga, pada akhirnya harus dipahami bahwa tidak setiap perusahaan mampu menaikkan UMK seperti yang dikehendaki oleh buruh. Dalam soal seperti ini harus ada klasifikasi perusahaan yang dianggap tidak mampu, misalnya berdasarkan skala usaha maupun profit yang diperoleh. Menyamakan UMK antara perusahaan skala besar, menengah, dan bawah tentu bukan merupakan langkah yang arif dalam situasi sekarang. Dari perspektif ini, diperbolehkan penerapan UMK di bawah ketentuan asalkan sudah dinegosiasikan dengan serikat pekerja. Tentu saja harus ada kompensasi lain yang diberikan perusahaan, misalnya memberikan fasilitas tambahan kepada pekerja dalam wujud jumlah hari cuti yang lebih banyak, jam kerja yang berkurang (tanpa mengurangi produktivitas), maupun pengadaan fasilitas penitipan anak dan kenaikan uang transportasi. Dengan model ini kurang lebih masalah upah minimum bisa diselesaikan secara lebih adil dan bermartabat. Selebihnya, tugas pemerintah (daerah) hanyalah menjadi wasit dalam perundingan antara buruh dan pengusaha.
Seputar Indonesia, 19 Desember 2007
*Ahmad Erani Yustika, PhD Ketua Program Studi Magister
Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FE Unibraw