Hiruk pikuk kampanye pemilihan presiden di tanah air rupanya meluputkan banyak peristiwa penting yang seharusnya diliput media. Salah satu berita genting yang terselip di bidang ekonomi adalah adanya Konferensi International Economic Forum yang diselenggarakan di St Petersburg, Rusia pada awal Juni 2009. Konferensi itu memiliki makna strategis sekurangnya karena dua hal. Pertama, Amerika Serikat (AS) ditolak hadir dalam pertemuan tersebut oleh negara-negara penggagasnya, seperti Rusia, Brasil, Cina, dan India. Kedua, salah satu isi krusial dari konferensi itu adalah mencoba menurunkan dominasi ekonomi AS dalam peta ekonomi dunia, salah satunya dengan mengurangi peran mata uang dolar dalam kegiatan ekonomi/transaksi. Intinya, negara-negara peserta mengharapkan kekuasaan ekonomi dunia lebih unipolar, sebagai ganti tata ekonomi dunia yang cenderung bipolar (AS dan blok Eropa Barat, plus Jepang). Nampaknya, format baru ekonomi dunia segera akan terbentuk.
Blok Ekonomi
Isu kritis yang dijajaki dalam pertemuan itu tidak lain adalah kemungkinan membentuk mata uang cadangan devisa baru. Saat ini jumlah cadangan devisa dunia mencapai 6.712 miliar dolar AS. Dari cadangan devisa sebesar itu, Cina mengantongi sekitar 2000 miliar dolar (sekitar 30%). Jika ditambah dengan Brasil, Rusia, dan India (yang dikenal dengan sebutan BRIC), maka empat negara tersebut menguasai 42% cadangan devisa dunia. Dengan demikian, jika indikator cadangan devisa ini dipakai, maka sebetulnya kegiatan ekonomi dunia sudah tidak sehegemonik seperti dua dasawarsa yang lalu, di mana perekonomian dikuasai oleh AS, Jepang, dan Eropa Barat. Cadangan devisa itu sebagian besar menggambarkan kemampuan daya saing perdagangan internasional suatu negara. Semakin besar cadangan devisa, maka menunjukkan besarnya ekspor negara tersebut. Dengan kata lain, secara tidak langsung BRIC menguasai 42% perdagangan dunia.
Masalahnya, walaupun dispersi kegiatan ekonomi sudah sedemikian cepat, ternyata ketergantungan kegiatan ekonomi/transaksi internasional terhadap dolar masih sangat besar. Dari lima mata uang penting dunia, yakni dolar, euro, poundsterling, yen, dan franc swiss; ternyata dominasi dolar belum terpatahkan. Saat ini diperkirakan mata uang dolar masih memegang 65% dari total cadangan devisa dunia. Dengan demikian, dolar AS masih menjadi mata uang cadangan devisa (reserve currency) yang kukuh. Padahal, dengan situasi perekonomian AS yang mulai limbung, mengakibatkan stabilitas dolar menjadi sulit diharapkan. Inilah yang menyebabkan negara-negara pemegang dolar dihinggapi ketidakpastian akibat fluktuasi nilai tukar dolar yang kian massif. Oleh karena itu, merupakan hal yang lumrah apabila negara-negara tersebut (khususnya BRIC) berupaya mencari mata uang alternatif selain dolar dalam kegiatan transaksi global.
Dalam konstelasi ekonomi global, sebenarnya poros kekuatan ekonomi dunia saat ini dapat dipecah dalam lima blok: (i) dominasi ekonomi yang berporos pada AS; (ii) kekuasaan ekonomi dengan episentrum Jepang; (iii) hegemoni ekonomi yang berpusat pada Eropa Barat; (iv) raksasa ekonomi yang bertumpu pada Brasil, Rusia, India, dan Cina (BRIC); dan (v) kekuasaan ekonomi potensial di wilayah Timur Tengah. Tiga poros kekuasaan ekonomi yang pertama sudah sama-sama diketahui, di mana peran Eropa Barat semakin besar dari waktu (ditunjukkan oleh nilai euro yang terus menguat terhadap dolar). Sedangkan BRIC tidak perlu diragukan lagi dalam waktu yang tidak terlalu lama akan merangsek menjadi poros ekonomi dunia yang sangat kuat. Namun, yang tidak boleh dilupakan adalah negara-negara petro-dolar di Timur Tengah yang amat kaya akibat bonanza minyak. Kawasan ini sebetulnya sangat kuat secara ekonomi, tapi kurang memiliki kepekaan politik sehingga mudah didikte oleh AS.
Membuat Siuman
Dari paparan di muka bisa dilihat bahwa pertemuan forum ekonomi internasional yang dimotori oleh Rusia tersebut memiliki makna yang luar biasa besar perekonomian dunia. Pesan yang terpantul dari forum itu tidak lain adalah keengganan negara-negara tersebut untuk “dijajah†oleh AS di masa-masa mendatang. Secara politik mereka sadar bahwa AS sekarang sudah tidak kuat lagi ekonominya, sehingga tidak pada tempatnya menyerahkan seluruh regulasi ekonomi global kepada AS. Kesadaran semacam itu tentunya harus disebarkan ke negara-negara lain, seperti Timur Tengah dan Asia, karena AS pasti juga tidak akan tinggal diam menghadapi tekanan ini. Sebagai negara yang paling diuntungkan dengan tatatan ekonomi dunia seperti sekarang, AS dengan segala cara pasti akan mengacaukan rencana itu. Tetapi, jika negara-negara yang siuman kian bertambah dan mau berbaris di belakang BRIC, maka reaksi AS tersebut dapat diminimalisir.
Di sini, Indonesia juga perlu menetapkan titik pijak yang tepat dan strategis sehingga di masa depan dapat meraih laba dari perubahan tata ekonomi global. Selama ini, dalam percaturan ekonomi global sikap Indonesia lebih banyak membebek terhadap keinginan AS, termasuk mengikuti skema globalisasi/liberalisasi, sehingga kehilangan nalar untuk mengembangkan kekuatan ekonomi domestik. Secara bersama-sama sepatutnya Indonesia harus memerankan fungsi yang lebih besar dalam mengubah konstelasi ekonomi dunia, karena potensi ekonomi yang juga cukup besar. Indonesia harus siuman dan segera menangkap arah ini agar masuk dalam percaturan ekonomi dunia bersama Cina, India, Brasil, dan Rusia sebagai mitra strategis. Singkatnya, Indonesia merupakan bagian dari korban ketidakadilan yang telah diproduksi selama ini, sehingga unipolarisasi ekonomi dunia itu layak diperjuangkan. Jika Indonesia tidak terlibat dalam proses ini, maka selamanya akan tetap menjadi pesakitan.
Seputar Indonesia, 29 Juni 2009