Kasus yang terjadi di AS dan Eropa selama 2 tahun terakhir telah menerbitkan kecemasan terhadap masa depan perekonomian nasional, terutama dari sisi fiskal. Negara-negara maju itu roboh perekonomiannya akibat melakukan utang yang tidak terkontrol, sehingga akumulasi utang sudah lebih besar dari PDB, seperti yang terjadi di AS, Italia, Spanyol, Portugal, Yunani, dan lain-lain. Tidak pernah diduga sebelumnya, bahwa krisis ekonomi bisa datang dari tekanan krisis utang pemerintah tersebut. Hal inilah yang kemudian mendorong para ekonom mengingatkan kepada pemerintah agar tidak lupa diri untuk terus mengakumulasi utang, sebab hal tersebut berpotesi menjadi jebakan dalam jangka panjang. Saat ini pemerintah memang terlihat percaya diri sebab beberapa ukuran yang terkait dengan pengelolaan utang lebih kecil dari konsensus internasional, seperti rasio utang dan defisit fiskal terhadap PDB. Di luar itu, pemerintah mesti memerhatikan indikator lain agar lebih komprehensif memetakan keadaan.
Indikator Utang
Rasio utang terhadap PDB memang realatif aman bagi Indonesia karena terus menurun tiap tahun sehingga berada di bawah ambang batas konsensus internasional, yakni 60% terhadap PDB. Pada 2004 rasio utang terhadap PDB masih 56,6%, kemudian terus turun menjadi 47,3% (2005); 39,0% (2006); 35,1% (2007); 33,0% (2008); 28,3% (2009); 26,0% (2010); 24,4% (2011); dan sekarang pada kisaran 22,9% (2012) [Bappenas, 2012]. Data inilah yang membuat pemerintah gembira dan menganggap manajemen utang telah berada pada jalur yang benar. Data itu masih ditopang dengan angka lainnya, di mana rasio defisit kecil terhadap PDB juga tidak pernah melebihi batas 3%. Negara-negara maju yang saat ini sedang mengalami krisis hebat juga mengalami masalah ini, sebab rasio defisit fiskalnya rata-rata melebihi 5%. Pada APBN 2012, misalnya, defisit direncanakan 2,1% dan pada RAPBN 2013 defisit anggaran diproyeksikan 1,6%. Dalam realisasinya, defisit fiskal itu biasanya lebih rendah dari rencana.
Namun, jika dilihat dari pintu yang lain, tampak persoalan utang nsaional tidak seaman yang dibayangkan. Sekurangnya hal ini dapat ditelisik dari tiga indikator ini. Pertama, rasio pembayaran utang dan bunga dibagi dengan jumlah penerimaan ekspor (debt service ratio/DSR) memiliki tendensi yang terus meningkat. Rasio ini sebenarnya lebih menggambarkan kemampuan bayar utang ketimbang memakai indikator rasio utang terhadap PDB. Konsensus internasional menyatakan DSR di atas 20% berarti menggambarkan lampu kuning, atau harus ekstra hati-hati. Data yang ada menunjukkan DSR Indonesia terus meningkat oleh sebab kenaikan jumlah utang, sedangkan di sisi lain ekspor cenderung menurun pertumbuhannya. Pada Triwulan I-2012 DSR melejit menjadi 30,7%, padahal pada 2011 masih di kisaran 21,1%. Kedua, total jumlah utang terhadap penerimaan pemerintah (pajak dan pendapatan bukan pajak) selalu lebih tinggi. Misalnya, pada 2007 total penerimaan pemerintah Rp 706 triliun, namun utangnya mencapai Rp 1.389 triliun. Pada 2011 total penerimaan pemerintah Rp 1.205 triliun, tapi jumlah utang Rp 1.803 triliun.
Ketiga, percepatan jumlah utang dalam negeri sungguh fantastis sehingga hal ini menerbitkan keprihatinan. Utang luar negeri, misalnya, memerlukan waktu 43 tahun untuk meningkat dari hanya US$ 2,17 miliar (1968) menjadi US$ 67,32 miliar (1998) dan terus meningkat menjadi US$ 109,70 miliar (2011). Sebaliknya, utang dalam negeri hanya membutuhkan waktu sekitar 13 tahun untuk tumbuh dari Rp 0 menjadi Rp 1.188 triliun atau sekitar 63% dari total utang pemerintah pusat. Akumulasi utang baru terus bertambah pada 2012, termasuk dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Secara keseluruhan total utang pemerintah pada Juni 2012 mencapai Rp 1.960 triliun, atau meningkat sekitar Rp 156,16 triliun dari 2011 yang berjumlah Rp 1.803,49 triliun (Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Alternatif, 2012). Dalam beberapa hal utang dalam negeri memang memiliki kelebihan dibandingkan utang luar negeri, misalnya dilihat dari keleluasaan pemanfaatan. Namun utang dalam negeri umumnya tingkat bunganya lebih tinggi.
Beban Anggaran
Akumulasi pertambahan utang dalam negeri yang super cepat tersebut tentu menimbulkan masalah dalam hal beban pembayaran. Rata-rata porsi pembayaran utang dalam APBN mengambil porsi sekitar 11%, sehingga membuat ruang fiskal menjadi sangat terbatas. Selama kurun waktu 2005-2011 total pembayaran utang pemerintah mencapai Rp 1.323,8 triliun, yang terdiri dari pembayaran cicilan bunga utang luar negeri dan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 601,2 triliun dan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri dan jatuh tempo & buyback SBN Rp 722,5 triliun. Jumlah pembayaran itu tentu tidak sebanding dengan total alokasi anggaran untuk keperluan yang terkait dengan kegiatan ekonomi masyarakat, misalnya alokasi untuk fungsi sektor pertanian, kehutanan, perikanan, dan kelautan yang selama kurun 2005-2011 hanya berjumlah Rp 66,8 triliun. Data-data ini menunjukkan bahwa indikator yang selama ini digunakan, seperti rsaio terhadap PDB, sebetulnya hanya mendeskripsikan sebagian informasi saja.
Lebih mengenaskan lagi, penarikan utang yang terjadi secara terus-menerus tidak diiringi tingkat penyerapan yang baik. Selama 12 tahun terakhir (2000-2011), kemampuan untuk menyerap utang luar negeri oleh pemerintah setiap tahun rata-rata hanya berkisar 71,2%. Kondisi ini jelas merugikan keuangan negara, di mana utang luar negeri yang tidak diserap menyebabkan meningkatnya beban pembayaran commitment fee (biaya yang ditimbulkan akibat utang yang belum ditarik/dicairkan). Hingga Triwulan I 2012, akumulasi jumlah utang luar negeri yang sudah ditarik mencapai US$ 212,5 miliar, sedangkan jumlah pembayaran cicilan pokok, bunga, dan biaya utang telah mencapai US$ 231,2 miliar, atau mengalami selisih transfer negatif sebesar US$ 18,6 miliar. Selain itu, jumlah utang luar negeri yang belum ditarik sebesar US$ 15,09 miliar atau setara Rp 147,9 triliun (Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Alternatif, 2012). Praktik ini tentu merupakan pemborosan yang besar, di tengah situasi kelangkaan anggaran untuk pembangunan lainnya, seperti infrastruktur.
Dari deskripsi di atas sebenarnya sudah dapat diraba sampai sejauh mana ketangguhan perekonomian dalam menghadapi tekanan utang. Secara makro memang rasio utang dan defisit fiskal terhadap PDB tergolong aman, namun terdapat aspek lain yang perlu diwaspadai. Di sini, pengurangan utang merupakan agenda mendesak yang mesti direalisasikan oleh beberapa sebab: (i) penyerapan utang tidak pernah mencapai 100% dari rencana; (ii) pembayaran beban bunga telah memperkecil ruang fiskal untuk melakukan pembangunan: (iii) penerimaan dalam negeri sebetulnya masih terdapat potensi untuk ditingkatkan, khususnya dari pajak; (iv) kinerja ekspor tidak pernah bisa selamanya diharapkan meningkat pertumbuhannya, terutama pada masa krisis ekonomi; dan (v) pemborosan pembayaran fee meski utang tersebut tidak ditarik atau tak diserap. Pemerintah mesti melihat soal ini secara lebih jernih dan jangan dininabobokan dengan ukuran-ukuran yang simplifistik agar perekonomian lebih sehat dalam jangka panjang.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FEB Universitas Brawijaya;
Direktur Eksekutif Indef; dan Dewan Nasional Fitra