APEC (Asia-Pasific Economic Cooperation) kembali menggelar pertemuan tahunan yang dihadiri para menteri dan puncaknya akan diikuti para pemimpin negara, yang dijadwalkan pada 8-9 September 2012 di Vladivostok, Rusia. Presiden SBY juga menghadiri acara ini karena dipandang merupakan forum yang sangat strategis bagi penentuan masa depan ekonomi dunia. Apalagi, tahun depan pertemuan APEC akan digelar di Bali. Saat ini anggota APEC sebanyak 21 negara, sebagian merupakan negara besar yang berperan penting dalam konstelasi ekonomi dunia, seperti AS, China, Rusia, Jepang, dan Korsel. Pada saat berdiri pada 1989, anggota APEC baru 12 negara. China baru bergabung pada 1991, Meksiko pada 1993, dan Rusia baru 1998. Pada 1994 Indonesia pernah menjadi tuan rumah, yang kemudian menghasilkan “Deklarasi Bogorâ€. Dalam situasi krisis sekarang, peran strategis apa yang bisa dimainkan APEC?
Penyebaran Krisis
Pasca-1997/1998 terdapat fenomena baru soal krisis ekonomi. Sebelum masa itu, krisis ekonomi relatif dapat diisolasi penyebarannya dari satu negara ke negara lain karena integrasi ekonomi antarnegara (baik transaksi keuangan maupun perdagangan) belum begitu pekat. Namun, setelah periode itu, krisis ekonomi yang terjadi di suatu negara, khususnya negara maju, dengan cepat menjalar ke negara lain akibat integrasi ekonomi yang kian kuat. Krisis kali ini menjadi bukti yang meyakinkan, di mana negara-negara maju di Eropa dan AS yang dihajar krisis ekonomi akibat kecerobohan fiskal melantakkan negara yang paling sehat sekalipun. Irlandia, Portugal, Italia, Yunani, dan AS yang rasio utangnya di atas 100% terhadap PDB menjadi pemicu krisis, tapi negara lain yang tak bersalah ikut menanggungnya, tak terkecuali Indonesia. Masalah ini menjadi poin serius yang harus dicermati karena menciptakan ketidakadilan.
Berikutnya, integrasi ekonomi yang difasilitasi globalisasi dan liberalisasi ekonomi memang menghasilkan pembengkakan volume kegiatan ekonomi yang tak terkira, khususnya di sektor keuangan. Perdagangan dan investasi antarnegara semakin pesat, demikian pula transaksi keuangan (derivatif) tak lagi bisa dipagari sehingga menerobos sekat-sekat antarnegara. Tapi itu gambaran makronya, sementara pada level meso hal yang segera tampak perdagangan dan investasi (juga transaksi keuangan) hanya didominasi oleh negara maju, sedangkan negara berkembang hanya menjadi sasaran ekspansi. Implikasinya, ketimpangan pembangunan kian menganga antara negara maju dan berkembang/miskin. Pada sisi mikro, ketimpangan pendapatan juga terjadi di intra-negara, baik negara maju maupun miskin, karena umumnya hanya sektor non-tradeable yang lebih maju. Hasilnya, ketimpangan di negara maju dan berkembang makin membesar.
Fakta lain yang sulit ditampik adalah peranan sektor keuangan yang makin sulit dikendalikan. Hampir sebagian besar krisis di dunia bersumber dari perilau moral hazard sektor keuangan. Krisis 1997/1998 di Asia dan subprime mortgage pada 2008/2009 berpangkal dari keculasan sektor keuangan (swasta) yang menggunakan kecanggihan dan kerumitan sebagai instrumen menafkahi kerakusan. Bayangkan, saat ini volume transaksi keuangan besarnya sudah sekitar lima kali lipat ketimbangan perdagangan. Di luar itu, terdapat perilaku ketakpatutan lain dalam skala yang lebih “kecilâ€, seperti yang dilakukan Madoff ataupun skandal pengaturan suku bunga LIBOR yang terkuak baru-baru ini. Ini semua masih disempurnakan dengan peran lembaga keuangan dan moneter dunia yang terus memasok kebijakan-kebijakan liberalisasi demi menafkahi kepentingan negara maju dan menenggelamkan negara berkembang.
Agenda Vladivostok
Dengan mencermati peta persoalan ekonomi strategis dunia seperti di atas, maka ikhtiar paling pokok yang mestinya dapat diiniasi di Vladivostok adalah menggerakkan komitmen bersama untuk mengelola perekonomian secara sehat. Seperti dikemukakan di muka, tiap krisis yang berlangsung di suatu negara dengan cepat menyebar ke negara-negara lain. Oleh karena itu, tiap negara dituntut mengatur tata kelola perekonomian yang sehat agar kepentingan bersama tetap terjaga. Negara-negara maju selama ini selalu mempromosikan tata kelola ekonomi yang sehat, namun mereka sendiri yang justru menjadi pendusta. Misalnya, konsensus agar defisit fiskal tak lebih 3% dari PDB dan rasio utang terhadap PDB tak boleh lebih dari 60% semuanya telah ditabrak. Sudah saatnya ada penalti terhadap negara yang hanya mau berpikir untuk hasratnya sendiri tanpa hirau kepada kepentingan bersama.
Selanjutnya, globalisasi dan liberalisasi butuh banyak persyaratan untuk dapat dipakai sebagai pencapaian kesejahteraan bersama. Selama dua dekade terakhir telah terdapat dua bukti yang sulit dibantah. Pertama, krisis ekonomi kian kerap terjadi yang sebagian bersumber dari pendalaman kegiatan ekonomi akibat pagar regulasi yang dilepas. Pelepasan regulasi itu tak lain adalah syarat bekerjanya liberalisasi. Kedua, ketimpangan pendapatan, baik antara negara maju dengan negara berkembangan dan antargolongan masyarakat di masing-masing negara, makin membesar sehingga memicu disharmoni internasional maupun domestik. Hal ini bisa terjadi karena modal, keterampilan, dan jaringan yang dimiliki antarpelaku ekonomi sangat berbeda sehingga akses terhadap kesempatan ekonomi menjadi berlainan. Sulit untuk menghentikan seluruh patologi ini tanpa mengerem laju liberalisasi.
Terakhir, mereformasi lembaga keuangan internasional dan sektor keuangan (swasta) merupakan prioritas yang tak bisa ditunda. Pembangunan di negara berkembang sampai kini masih terus diintai oleh lembaga keuangan internasional dengan memasukkan banyak sekali program-pogram yang sebetulnya bukan merupakan kebutuhan. Lebih dari itu, kebijakan-kebijakan yang bercorak liberalisasi terus didesakkan lewat aneka cara, termasuk perubahan undang-undang. Pola ini dengan mudah bisa dilihat kasusnya di Indonesia. Hal yang sama juga diberlakukan tehadap sektor keuangan (swasta), di mana keberadaan mereka harus dipastikan untuk menggerakkan sektor riil, bukan hanya berputar untuk memajukan sektor keuangan sendiri seperti yang dikerjakan selama ini. Para anggota APEC harus memperjuangkan pesan perubahan ini, bukan malah terjebak mengupas soal teknis yang kurang penting.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef