Krisis keuangan global menjadi titik awal memudarnya kekuasaan ekonomi AS. Hal itu ditandai dengan kemunculan poros kekuatan ekonomi baru yang berasal dari negara-negara berkembang. Beberapa negara itu antara lain Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Lima negara yang tergabung dalam BRICS diperkirakan akan menggantikan posisi AS sebagai negara terkuat. China diunggulkan dan perekonomiannya paling siap menggantikan posisi AS. Negara tirai bambu tersebut memiliki fundamental ekonomi yang kuat dari segala lini. Satu hal yang paling menonjol dari China adalah kemampuan produksi masal dengan biaya efisien. Sementara itu, Rusia memiliki kekuatan pada sumber daya alam (minyak dan gas). India melengkapi dirinya dengan kekuatan pada produk berbasis teknologi informasi, sedangkan Brasil menawarkan kekuatan pada sektor pertanian dan energi alternatif. Sementara itu, Afrika Selatan bergerak pada produksi komoditas tambang.
Penyedotan Kekayaan
Tentu saja masih banyak negara lain yang punya potensi besar untuk menjadi besar. Tetapi bila tatanan global tetap dipertahankan seperti sekarang, peluang itu bisa menjadi berantakan. Dalam kasus BRICS, potensi itu sekurangnya terbaca dari dua hal. Pertama, pangsa PDB kelompok BRICS terhadap dunia pada 2013 mencapai 27,65%. Rinciannya China 15,4% India 5,83%; Rusia 2,94%; Brazil 2,79%; dan Afrika Selatan 0,79%. Peranan PDB AS terhadap PDB dunia sekitar 19,31%. Kedua, jumlah penduduk BRICS pada 2013 mencapai 2,99 miliar (China 1,36 miliar; India 1,24 miliar; Rusia 142,9 juta; Brasil 198,3 juta; dan Afrika Selatan 53 juta) [World Economic Forum, 2015]. Peran ini akan makin kuat jika dalam jangka panjang bisa dipastikan terdapat stabilitas politik, kebijakan ekonomi yang konsisten, dan inovasi yang tak pernah berhenti berdenyut. Data-data di atas juga menunjukkan potensi yang sangat besar negara berkembang asalkan diberi panggung aturan ekonomi global yang adil.
Munculnya kekuatan ekonomi baru pada gilirannya akan menyulut aneka peluang kerjasama. Idealnya, hasil dari kerjasama tersebut berupa peningkatan kesejahteraan. Namun, tidak sedikit dari kemunculkan kekuatan ekonomi baru hanya menimbulkan kekuasaan yang besar bagi ekonomi negara tertentu. Realitas ini kemudian akan diikuti dengan dampak negatif yang ditimbulkan, antara lain eksploitasi sumber daya alam di negara-negara ketiga. Berbagai jebakan perjanjian menyebabkan terjadinya penyedotan kekayaan dalam jangka panjang, tak hanya sumber daya alam tetapi juga profit menuju ke negara asal PMA/Penanaman Modal Asing (repatriasi modal dan keuntungan). Berbalut skema investasi asing (untuk menciptakan lapangan kerja), nyatanya skema itu malah menciptakan ragam kerugian yang begitu besar dibandingkan manfaat. Proses ini telah berjalan lama dan sampai sekarang tak ada tanda akan berhenti.
Lazimnya, keterbatasan kemampuan ekonomi domestik negara berkembang untuk menciptakan lapangan kerja menjadi titik awal pembuka keterlibatan asing dalam aktivitas ekonomi di dalam negeri. Membuka ruang ekonomi terlalu menganga akan menghasilkan dampak yang mengerikan, antara lain menyebabkan tidak tersedianya ruang usaha bagi pelaku ekonomi lokal. Situasi tersebut sudah sering terlihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti kencangnya pertumbuhan pasar-pasar modern yang tersebar di sekitar pasar tradisional. Sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) kehilangan faktor produksi dan pasar karena penyusupan korporasi internasional ke lini bisnis UMKM. Padahal, dalam konteks Indonesia, peranan UMKM terhadap ekonomi nasional pada 2014 sangat besar, yakni menyumbang 99,9% sektor usaha dan penyerapan tenaga kerja lebih dari 95% Kementerian Koperasi dan UMKM, 2014).
Meredakan Ketidakadilan Global
Munculnya forum-forum internasional, baik dalam bentuk lembaga keuangan hingga institusi pemeringkat, menjadi salah satu wujud dari indikator kekuatan negara maju yang bergerak ke negara berkembang. Forum seperti World Economic Forum, G-20, G-7, dan lain-lain muncul dalam kerangka kerjasama ekonomi itu, tetapi tidak sepenuhnya memberikan manfaat ekonomi. Bergabungnya Indonesia ke G20, misalnya, tidak banyak yang bisa dibaca faedahnya untuk kemaslahatan global. Perlu juga dicatat, forum G-20 muncul setelah negara-negara maju mengalami kesulitan saat krisis keuangan global. Sebelumnya, negara-negara maju telah memiliki forum G-7. Apa yang terjadi di sektor kelautan, yang disuarakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan beberapa bulan lau, menjadi salah satu tanda bahwa forum semacam itu justru melikit kepentingan negara berkembang, seperti Indonesia. Di sini dibutuhkan kejelian untuk memandang dan menilai keberadaan forum-forum internasional itu.
Saat krisis ekonomi global menyeruak akhir-akhir ini, Indonesia termasuk negara yang terkena getahnya. Menurut data WEF/World Economic Forum (2015), peranan PDB Indonesia mencapai 1,49% (peringkat 15 dunia) dan memiliki jumlah penduduk hingga 250 juta jiwa. Namun, berbagai situasi ketidakadilan acap terjadi dan membuat situasi ekonomi menjadi guncang. Forum kerjasama antarnegara seharusnya menjadi langkah tepat untuk menyuarakan situasi yang ada. Indonesia mestinya bisa menjadi pionir untuk menyuarakan kepentingan negara berkembang, seperti yang pernah dilakukan pada 1955 saat diselenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA), yang kebetulan pada tahun ini akan diselenggrakan peringatan secara besar-besaran di Bandung. Selayaknya, forum-forum tersebut bukan hanya agenda reguler, tetapi dapat menjadi lidah persoalan negara berkembang. Inisiasi China membentuk bank infrastruktur internasional merupakan langkah maju yang patut didukung.
Saat ini pertemuan WEF kembali digelar dan Indonesia menjadi salah satu peserta yang aktif. Sungguh pun begitu, tak nampak ada agenda serius yang dipersiapkan Indonesia dalam forum termasuk, juga forum sejenis lainnya. Indonesia memang dibelit banyak masalah domestik, tapi tak semestinya cuma berpikir memerjuangkan kepentingan sendiri. Republik besar ini punya potensi menjadi juru bicara kepentingan negara berkembang akibat ketidakadilan ekonomi global. Regulasi liberalisasi (investasi, arus modal, tenaga kerja, barang/jasa dan lain-lain) telah menjebak negara berkembang dalam pusaran ketidakpastian, khususnya apabila terjadi krisis ekonomi. Problem ekonomi yang dialami Indonesia sebagian adalah dampak dari konstruksi ekonomi global semacam itu, sehingga ada pertalian antara memerjuangkan agenda domestik dengan kepentingan negara berkembang. Jika ini bisa dilakukan tentu ada faedahnya berpartisipasi dalam forum tersebut, demikian sebaliknya.
*Ahmad Erani Yustika, Ekonom Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
**Abdul Manap Pulungan, Peneliti Senior Indef