Pascareformasi ekonomi 1998 telah memunculkan kenyataan ganjil berikut: ekonomi nasional kerap kali dipuja oleh dunia luar (negeri) dan lembaga internasional, tapi miskin tepuk tangan dari publik di dalam negeri. Pemerintah sering mengutip penilaian pihak luar untuk melegitimasi prestasi-prestasi yang sudah ditorehkan, sementara rakyat menyampaikan fakta yang dijumpai dan dialami sehari-hari untuk membalik segala klaim pemerintah.
Apa yang aneh dari fenomena ini? Jawabannya mungkin terdapat dalam tarik-menarik indikator untuk mendefinisikan makna kemakmuran dan keberhasilan kinerja ekonomi itu sendiri. Pemerintah merasa cukup melihat kinerja ekonomi dari pertumbuhan ekonomi (yang disumbang dari sektor non-tradeable), gemuruh investasi (yang didorong oleh investasi asing), kepercayaan investor (asing) terhadap surat utang negara, rasio utang terhadap PDB yang kian kecil (meskipun APBN berdarah-darah), dan beragam indikator sejenis lainnya.
Paradoks Ekonomi Indonesia
Sebaliknya, rakyat mengukur kemakmuran dan kinerja ekonomi dari perkara sepele yang dijumpai dan dialami tiap hari: harga pangan pokok, kesempatan pendidikan, keterjangkauan kesehatan, akses transportasi, partisipasi dalam pekerjaan yang layak, dan jaminan keamanan hidup. Pertarungan memilih indikator penentu kemakmuran dan kemajuan ekonomi itulah yang menjadi sumbu perbedaan cara pandang tersebut. Pemerintah dan negara (lembaga) asing melihat Indonesia sebagai kawasan yang begitu memesona (tentu lewat alat ukur mereka sendiri), sedangkan rakyat merasakan kehidupan makin pahit (sesuai dengan kenyataan hidup yang dirasakan). Angka pengangguran terbuka diberitakan terus-menerus turun, tapi rakyat dibiarkan berjuang mencari penghidupan di sektor informal (65% dari total angkatan kerja berada di sektor informal). Pola yang sama juga terjadi pada data kemiskinan. Di sini, sekurangnya, ada 4 paradoks pemantik pudarnya apresiasi rakyat terhadap kinerja ekonomi pemerintah.
Pertama, kebutuhan negara untuk menyelenggarakan pelayanan dan jaminan sosial/publik makin besar, tapi negara terus-menerus dijepit untuk menjual aset ekonomi yang dimilikinya (via privatisasi). Akibatnya, negara tergopoh menyantuni pelayanan publik dasar akibat jebakan privatisasi. Profit BUMN makin lama kian besar, tapi sebagian sahamnya tidak lagi dimiliki negara. Kekuasaan pemerintah untuk menafkahi kebutuhan masyarakat kecil juga meredup, misalnya memengaruhi bank (BUMN) untuk menyalurkan kredit ke sektor pertanian.
Kedua, pertumbuhan ekonomi bisa dihela dengan relatif cepat pascareformasi ekonomi, bahkan pada 2011 bisa mencapai 6,5%, namun data ketimpangan pendapatan secara sadar disembunyikan. Bayangkan, Gini Rasio Indonesia pada 2007 dan 2010 mencapai rekor tertinggi selama ini: 0,38 (BPS, 2011). Rezim ini percaya liberalisasi akan menyehatkan persaingan ekonomi, tapi sambil melupakan aspek yang mendasar: menata terlebih dulu kekuatan ekonomi domestik secara sistematis!
Ketiga, negara dipreteli sumber daya ekonomi dan otoritasnya sebagai regulator lewat privatisasi dan deregulasi, namun ketika korporasi ambruk (entah oleh krisis ataupun kejahatan yang dilakukan) negara diminta untuk menyelamatkannya. Inilah absurditas paripurna itu! Krisis ekonomi 1997/1998 menjadi babak baru kisah ini, ketika negara harus mengeluarkan lebih dari Rp 600 triliun untuk mengongkosi (bailout) perusahaan dan perbankan yang bangkrut, diteruskan lagi kasus Bank Century. Paradoks yang terakhir adalah ilusi modernisasi lewat proyek industrialisasi.
Transformasi ekonomi telah berjalan sejak dekade 1980-an, yang menggeser peran sektor pertanian setahap demi setahap, digantikan dengan sektor industri dan jasa. Tapi, seperti halnya proses liberalisasi, transformasi ekonomi melangkah di atas kealpaan-kealpaan yang kasat mata: keterampilan dan pendidikan tenaga kerja yang keropos, praktik mafia ekonomi yang menjamur, dan ekonomi berpijak pada kaki yang rapuh.