Beberapa minggu terakhir ini berita di media cetak dan elektronik diramaikan dengan kegundahan para ekonom, politisi, dan tokoh masyarakat menyangkut kinerja APBD (Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah) yang kian memprihatinkan. Salah satu aspek yang dianggap aib adalah sebagian besar alokasi APBD dihabiskan untuk belanja dan gaji pegawai, bahkan ada daerah yang 90% dari total APBD-nya dipakai belanja pegawai. Dengan proporsi semacam itu, bisa dibayangkan makin terbatasnya peran APBD untuk mendorong pembangunan daerah, khususnya di bidang ekonomi. Di luar itu, terdapat banyak praktik lain yang juga merisaukan, seperti mutu program/proyek yang rendah, korupsi yang menyebar, penempatan dana APBD di perbankan, dan lain-lain. Setelah otonomi daerah berjalan satu dekade ini, sekarang tampaknya momentum yang tepat untuk mendesain ulang konsep dan aturan agar situasi tidak makin memburuk.
Alokasi APBD
Secara konseptual APBD untuk seluruh wilayah di Indonesia masih sangat tergantung dari dana transfer pusat (APBN), khususnya pada level kabupaten/ kota. Dana transfer itu dibagi menjadi dua jenis: dana perimbangan (dana bagi hasil/DBH, dana alokasi umum/DAU, dan dana alokasi khusus/DAK) serta dana otonomi khusus/otsus (Otsus Papua, Papua Barat, Aceh, Infrastruktur Papua, dan Infrastruktur Papua Barat) dan penyesuaian (tambahan penghasilan guru, tunjangan profesi guru, bantuan operasional sekolah/BOS, dan dana insentif daerah/DID). Data menunjukkan, nominal dana transfer ini terus meningkat rata-rata sekitar 22,6%/tahun dengan alokasi terbesar DAU (57,4%,), disusul DAK, dana penyesuaian, dan dana otsus. Pada 2005 dana transfer baru Rp 226 triliun, namun pada RAPBN 2011 mencapai Rp 362 triliun. Meskipun begitu, dana transfer ini secara persentase mengalami penurunan dari tahun ke tahun (Indef, 2011).
Jika aloksi APBD dibedah, di mana dana transfer merupakan komponen terbesar penumbang APBD, maka akan dijumpai beberapa realitas berikut. Porsi APBD untuk pegawai mengalami keanaikan dari waktu ke waktu. Salah satu sebabnya selama 5 tahun terakhir ini penambahan pegawai negeri sipil (PNS) tergolong luar biasa (termasuk karena dorongan pemekaran wilayah). Pada 2005 jumlah PNS sekitar 3,5 juta, tapi pada 2010 populasinya telah melonjak menjadi sekitar 4,6 juta jiwa. Tercatat beberapa daerah kabupaten/kota yang belanja pegawainya bisa dianggap mengerikan, misalnya Lumajang (83%), Karanganyar (75%), Ambon (73%), Simalungun (72%), Agam (72%), Kuningan (71%), dan Palu (71%). Daerah-daerah tersebut, dan masih banyak daerah lainnya, hampir bisa dipastikan tidak dapat menggerakkan pembangunan daerah, karena APBD habis untuk aparat (bukan rakyat). Fungsi anggaran belanja sebagai instrumen stabilisasi, alokasi, dan distribusi praktis telah lumpuh.
Celakanya, realisasi belanja modal yang sudah sangat kecil (karena terpotong belanja pegawai) penyerapannya rendah, kurang dari 90% pada 2009. Pada tahun yang sama, penyerapan belanja pegawai mencapai 93,2%. Di sini menunjukkan kapasitas birokrasi di daerah tidak cukup cakap mengelola program yang sudah direncanakan sebelumnya. Di sisi lain, daerah-daerah yang memiliki kapasitas fiskal terbatas terpaksa harus membikin anggaran defisit untuk membiayai kebutuhannya, khususnya belanja pegawai. Tercatat pada 2010 daerah yang APBD-nya defisit sebanyak 284 (lebih dari 50% jumlah daerah), sedangkan yang surplus 226 daerah. Ini melonjak dibandingkan 2007, di mana daerah yang defisit “hanya†148 dan surplus sebanyak 314 daerah. Total anggaran defisit semua daerah pada 2010 diperkirakan sebesar Rp 50 triliun. Pertanyaanya, bagaimana pembiayaan anggaran defisit itu oleh pemerintah daerah?
Secara teoritis, pemerintah daerah memang diperbolehkan melakukan pinjaman dan utang untuk menutup kebutuhan belanja anggaran, misalnya dengan menjual obligasi. Tapi, syarat untuk melakukan utang tersebut tidak mudah karena harus memertimbangkan kapasitas fiskal daerah yang bersangkutan. Sampai saat ini belum ada daerah yang menjual obligasi untuk menutup defisit APBD, salah satunya karena beratnya persayaratan tersebut. Dengan demikian, jika sekarang ada lebih dari 50% daerah yang-APBD nya defisit, maka menjadi relevan untuk mengkaji bagaimana cara daerah memeroleh dana tersebut dan dengan cara apa utang itu mesti dibayar. Pemerintah pusat bisa saja turun tangan memberikan bantuan, tentu dengan persyaratan tertentu, namun dalam jangka panjang cara ini kurang realistis sebab APBN sendiri bebannya sudah sangat berat (selalu membuat anggaran defisit pula).