Indeks harga pangan dunia dari waktu ke waktu terus naik, bahkan akhir-akhir ini dalam intensitas yang cukup tinggi. Pola ini diikuti juga dengan kenaikan harga minyak, yang saat ini berfluktuasi di kisaran US$ 90 per barrel. Pola kenaikan harga pangan dan minyak yang terjadi saat ini mirip pada semester awal 2008 lalu. Pada saat itu harga minyak hamper menyentuh US$ 150 per barrel dan harga pangan juga melambung tinggi. Pada 2008 itu terjadi krisis pada hampir semua komoditas pangan penting, misalnya beras, jagung, gandum, dan kedelai. Tempe yang menjadi lauk pokok sebagian masyarakat, saat itu  bukan lagi menjadi kudapan yang murah, tapi menjadi komoditas yang sulit dijangkau masyarakat miskin karena harganya yang tinggi akibat kenaikan harga kedelai. Saat ini, pengalaman seperti 2008 itu terulang lagi dan Indonesia –dalam banyak hal- tidak mengalami kemajuan yang berarti dalam mempersiapkan soal pangan ini.
Situasi Pangan Dunia
Sejak Oktober 2010 lalu harga-harga pangan penting mengalami kenaikan di pasar internasional, misalnya minyak dan lemak, gandum, jagung, dan gula. Sejak periode itu harga pangan mengalami kenaikan sekitar15%, hanya lebih rendah sekitar 3% dari puncak kenaikan harga pangan pada pertengahan 2008 lalu. Beberapa komoditas tersebut bahkan ada yang mengalami kenaikan di atas 20%, seperti gula (20%), gandum (20%), dan minyak dan lemak (22%). Di luar itu, harga jagung juga meningkat cukup tinggi, yakni sebesar 12%. Dengan situasi seperti ini, tentu negara-negara yang tidak bisa mencukupi kebutuhan konsumsi dari produksi domestik tentu berada di pihak yang paling rentan. Indonesia termasuk dalam posisi yang seperti ini, karena sebagian komoditas pangan penting juga harus dicukupi melalui impor, seperti kedelai, gula, gandum, dan lain-lain. Isu inilah yang menjadi problem utama ekonomi pada 2011 ini.
Berikutnya, negara-negara yang rentan menjadi korban dari krisis pangan ini adalah negara yang memiliki karakteristik jumlah penduduk besar dengan pendapatan per kapita yang rendah. Apabila jumlah penduduk besar, maka secara kuantitas produksi yang dibutuhkan menjadi sangat besar, meskipun –misalnya- konsumsi per kapitanya sama atau lebih rendah dengan negara yang penduduknya lebih sedikit. Menghasilkan produksi yang berlimpah untuk mencukupi kebutuhan penduduknya itu bukanlah pekerjaan yang mudah, sehingga pemerintah dituntut berpikir secara serius untuk masalah pangan ini. Sementara itu, negara yang pendapatan masyakaratnya (pendapatan per kapita) rendah, masalah pangan juga krusial untuk diperhatikan mengingat sebagian besar konsumsi mereka habis digunakan untuk pangan. Jika harga pangan meningkat, maka golongam masyarakat ini mudah jatuh dalam kubang kemiskinan.
Laporan yang dilansir Bank Dunia baru-baru ini menyebutkan sekitar 44 juta penduduk dunia jatuh dalam kemiskinan absolut gara-gara kenaikan harga pangan ini. Situasi ini tentu bertambah runyam karena tanpa ada krisis panganpun, penduduk dunia yang rentan dalam jebakan kemiskinan diperkirakan sekitar 800 juta penduduk, suatu jumlah yang fantantis. Indonesia sendiri juga tergolong negara yang rawan karena memiliki jumlah penduduk yang sangat miskin sebesar 13,3% (setara sekitar 32 juta penduduk), meskipun pendapatan per kapita sudah mencapai Rp 27 juta saat ini. Jika penduduk yang rawan pangan diukur dengan pendapatan minimal US$ 2 per hari, maka jumlah penduduk Indonesia yang bakal terbelit krisis pangan mencapai sekitar 100 juta penduduk. Kelompok ini diidentifikasi 60% pendapatannya dipakai untuk membeli pangan, sehingga kenaikan harga pangan sangat memengaruhi status kemiskinannya.