Setiap berbicara mengenai konsep yang bersumber dari agama, apapun agamanya, tidaklah mungkin lepas dari keberadaan “teologiâ€. Meskipun abstrak, Milbank (Oslington, 2000:33) percaya bahwa teologi merupakan pengetahuan sosial dan –bahkan- ratu dari ilmu pengetahuan yang bisa mengelaborasi pemahaman mengenai dirinya sendiri. Jika makna itu direlasikan dengan ekonomi (theological economics), maka tidak berarti ekonomi harus diturunkan dari teologi, melainkan ekonomi menjadi subyek dari kajian teologi (artinya, bisa diposisikan, direlatifkan, dan dikritisi oleh teologi). Salah satu perhatian penting dari teologi (khususnya Islam) adalah aspek keadilan. Keadilan menempati pilar terdepan setiap kali Islam berbicara mengenai banyak hal. Oleh karena itu, keadilan menjadi alas terpenting untuk menguji apakah konsep ekonomi alternatif memberikan jalan keluar atas aspek yang ditinggalkan oleh konsep ekonomi yang lama.
Ekonomi Konvensional
Dalam 20 tahun terakhir, pembahasan mengenai teori dan praktik ekonomi Islam sangat menonjol sebagai alternatif dari sistem ekonomi konvensional yang dianggap oleh sebagian orang (baca: ekonom) telah bangkrut. Kritik Islam terhadap ekonomi konvensional dilatari oleh 3 hal berikut. Pertama, motif material menjadi satu-satunya tujuan dan alat ukur keberhasilan dalam seluruh kegiatan ekonomi. Hal ini menjadikan aktivitas ekonomi kalis terhadap isu-isu kontekstual yang terjadi di sekitarnya, seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Kedua, instrumen ekonomi yang dipakai cenderung merugikan salah satu pihak/pelaku ekonomi, sehingga unsur keadilan menjadi terkorbankan. Padahal, salah satu spirit agama yang terpenting, seperti yang disampaikan di muka, adalah keadilan. Ketiga, orientasi hasil hanya dibaktikan untuk kepentingan material, tanpa memiliki dimensi spiritual.
Bagaimana jika deskripsi itu direlasikan dengan konsep dan praktik perbankan syariah? Secara konseptual, konsep perbankan syariah jelas merupakan antitesa dari konsep dan penerapan perbankan konvensional yang dijalankan selama ini. Secara konseptual, bank syariah tidak menjadikan profit sebagai tujuan yang utama, tapi memberi akses kepada semua orang, khususnya kaum papa, agar dapat mengoptimalisasikan kemampuan dirinya. Berikutnya, perbankan syariah menghindari praktik riba (disimbolisasikan “bunga†dalam bank konvensional) semata untuk memastikan bahwa aspek keadilan tidak ditanggalkan dalam akad/transaksi ekonomi ini. Konsep “bagi-hasil†dianggap jauh lebih menafkahi aspek keadilan ketimbang “bungaâ€. Terakhir, dimensi moral, etika, akhlak, dan lain sebagainya menempati ruang yang terhormat dalam penerapan perbankan syariah untuk meniscayakan bahwa orientasi kegiatan ekonomi mempunyai dimensi material dan spiritual.
Pertanyaan besarnya, apakah konsep perbankan syariah itu sudah diterapkan di lapangan? Dengan segala hormat terhadap pelaku yang bergerak di sektor perbankan syariah ini, saya harus menjawab: belum. Pertama, motif profit masih terlihat jelas menjadi pertimbangan utama sehingga akses pelaku ekonomi kecil (atau kaum miskin) belum menjadi fokus dari perbankan syariah, meskipun sebagian telah mengamalkan pijakan ini. Kedua, prinsip bagi–hasil baru merupakan konsep indah di atas kertas, tapi sulit menjelma di lapangan. Meskipun namanya bukan bunga, namun pembebanan biaya atas jasa yang diberikan (misalnya kredit) masih sangat memberatkan pihak debitor, sehingga asas keadilan belum benar-benar diamalkan. Ketiga, orientasi material masih sangat kental karena besarnya porsi motif laba dan penanggalan aspek keadilan dalam penerapan operasi bank syariah.