Kinerja makroekonomi nasional Triwulan I 2011 yang baru saja dipublikasikan BPS (Badan Pusat Statistik), sekali lagi menunjukkan betapa rapuhnya struktur perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi memang tinggi, mencapai 6,5% (padahal sebelumnya diperkirakan hanya akan berkisar pada angka 6,3%). Tapi, dua sektor ekonomi yang paling penting, yaitu pertanian dan industri, masih tumbuh rendah. Kedua sektor penyangga ekonomi itu (yang biasa disebut dengan istilah tradeable sector), masing-masing hanya tumbuh 3,4% dan 4,6%. Kedua sektor itu kontribusinya juga menurun terhadap PDB jika dibandingkan Triwulan I 2010, masing-masing sebesar 15,6% (semula 16%) dan 24,1% (semula 25,5%). Penurunan kontribusi terhadap PDB itu bermasalah karena sektor pertanian menyumbang 42,47% dan industri 13,71% terhadap penyerapan tenaga kerja.
Menabrak Konstitusi
Di luar data itu, angka pengangguran terbuka juga dilaporkan turun menjadi 6,8%, semula 7,41% (Februai 2010). Tetapi, penurunan angka pengangguran terbuka itu menjadi kurang bermakna karena jumlah pekerja tak penuh waktu makin bertambah (bekerja kurang dari 35 jam/minggu). Para pekerja itu bisa dibagi dua, yakni pekerja penuh dan tak penuh. Pekerja tak penuh meningkat jumlahnya menjadi 34,19% (2011) dari semula 32,80% (2010). Lebih detail lagi, pekerja tak penuh waktu bisa dirinci menjadi setengah menganggur dan pekerja paruh waktu, di mana yang setengah menganggur naik dari 15,3% (2010) menjadi 15,7% (2011) dan paruh waktu meningkat dari 17,5% (2010) menjadi 18,56% (2011). Seterusnya, proporsi pekerja sektor informal masih sangat tinggi, yakni 65,76% (pekerja formal hanya 34,24%). Kegagalan pemerintah menyediakan lapangan kerja secara layak di sektor formal merupakan tragedi yang memilukan karena hal ini menabrak konstitusi (UUD 1945).
Pertanyaannya, dari mana pangkal masalah mendasar ini sehingga telah bertahun-tahun tidak dapat diatasi? Saya ingin membuka dua fakta berikut. Pertama, kegiatan ekonomi hanya akan bergerak apabila ditopang oleh sektor keuangan/perbankan. Inilah yang menjadi sebab semua negara berjibaku membangun dan mengembangkan sektor keuangan secara kuat. Perkembangan sektor pertanian dan industri di masa lalu yang cukup bagus harus diakui juga bertolak dari dukungan sektor perbankan tersebut. Pada 2000 sektor pertanian, industri, dan pertambangan (sektor riil) masih mendapatkan porsi alokasi kredit perbankan sebesar 47,96%. Namun, alokasi kredit pada 2010 terhadap sektor riil tersebut anjlok menjadi tinggal 24,22% (Indef, 2011). Jadi, sebagian besar kredit (75,88%) jatuh ke sektor nontradeable. Dengan deskripsi tersebut tentu kita tidak kaget apabila pertumbuhan sektor pertanian dan industri menjadi macet.