Harus diakui, kegiatan di sektor perbankan sangat rawan dengan munculnya perilaku moral hazard karena dua faktor. Pertama, obyek kejahatan ada di depan mata (uang) sehingga pelakunya tinggal mencari kesempatan. Kedua, kejahatan dapat dilakukan dengan mudah karena kecanggihan teknologi. Ini ironis karena disatu sisi teknologi dapat dipakai untuk meminimalisasi terjadinya kejahatan, tapi di sisi lain teknologi juga bisa digunakan untuk mempermudah praktik kejahatan tersebut. Dalam kasus akhir-akhir ini, kejahatan itu muncul akibat kesempatan yang terbuka sebab tidak dijalankannya prosedur dengan benar. Oleh karena itu, penyidikan kasus ini harus fokus kepada pelaksanaan SOP dan pengawasan internal perbankan. Bank sentral dan kepolisian diuji komitmennya untuk benar-benar menemukan problem dasarnya.
Menghidupkan Spirit Pengawasan
Berikutnya, sebagai langkah antisipasi yang harus dilakukan oleh Bank Indonesia adalah mengidentifikasi titik-titik rawan dalam kejahatan perbankan agar kejadian ini tidak berulang di masa depan. Dalam aktivitas perbankan, titik rawan kejahatan itu bisa bersumber dari kegiatan pendanaan, pemberian pinjaman, pemberian jasa, operasional akuntansi, dan operasional lainnya (Supriyanto, 2011). Kesemua titik rawan ini mesti diturunkan dalam jenis-jenis aktivitas yang lebih detail sehingga dapat dirumuskan bentuk pengawasan yang ideal terhadap sektor perbankan. Tentu tidak mudah memetakan secara detail aneka kejahatan ini, karena keberadaannya terus berkembang dari waktu ke waktu. Namun, Bank Indonesia dituntut bisa memperbarui dan memetakan potensi kejahatan ini secara baik karena otoritas regulasi dan pengawasan sepenuhnya berada di bank sentral. Poin ini yang nantinya harus mendapatkan titik tekan dari Bank Indonesia.
Sementara itu, dalam operasionalisasi perbankan sendiri terdapat dua level pengawasan perbankan. Pertama, pengawasan level pelaksana yang dilakukan oleh internal bank sendiri. Idealnya, setiap aktivitas perbankan dilakukan proses verifikasi atas seluruh transaksi yang terjadi, baik lewat konfirmasi maupun audit. Kedua proses ini merupakan domain dari pengawas level pelaksana, yang harus diselenggarakan oleh manajeman perbankan. Jadi, isunya pada level ini adalah tata kelola perusahaan. Kedua, pengawasan level pengawas yang dilakukan Bank Indonesia. Bank sentral memang tidak mungkin melakukan pengawasan terhadap semua bankir, yang bisa dikerjakan adalah pengawasan terhadap bank, di mana instrumen pengawasannya adalah pelaksanaan standar pelaksanaan prosedur. Kedua level pengawasan ini tampak mulai melemah sehingga ke depan keduanya mesti dihidupkan lagi dengan semangat pembaruan yang kuat.
Kontan, Edisi 2-8 Mei 2011
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef