BPS pada awal Februari 2011 lalu telah mempublikasikan secara utuh kinerja ekonomi Jawa Timur (Jatim) 2010. Secara umum, data makroekonomi Jatim 2010 menunjukkan gambar yang buram, sehingga perlu terobosan kebijakan yang cerdas dan kerja keras untuk memerbaiki kinerja ekonomi di masa depan. Pertama, pertumbuhan ekonomi Jatim 2010 memang bagus (6,67%), lebih tinggi ketimbang pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 6,1% [tapi inflasi Jatim (7,10%) juga lebih tinggi dari inflasi nasional (6,96%)]. Pola ini mengulang kinerja pertumbuhan ekonomi 2009, di mana ekonomi Jatim tumbuh 5,01% dan nasional 4,5%. Kedua, data sebaliknya, pertumbuhan sektoral kian tidak ramah terhadap sektor pertanian dan industri (yang selama ini menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar). Pada 2010, sektor pertanian hanya tumbuh 2,1% (turun dari 2009 yang sebesar 4,01%). Sementara itu, pertumbuhan sektor industri dan pengolahan pada 2010 cuma 4,35%.
Rapor Merah Pertanian dan Industri
Sepanjang 2010, seperti juga pada 2008 dan 2009, struktur pertumbuhan ekonomi Jatim banyak ditopang oleh pertumbuhan sektor pengangkutan dan komunikasi (10,07%); perdagangan, hotel, dan restoran (10,67%); serta keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan (7,27%). Pertumbuhan sektor-sektor tersebut memang penting, tetapi kekurangannya adalah penyerapan tenaga kerjanya yang tidak terlalu besar, meskipun pertumbuhannya tinggi. Karakteristik sektor-sektor tersebut juga sangat khas, dinamika perkembangannya kurang bersinggungan secara langsung dengan peran pemerintah (daerah). Artinya, jika pertumbuhan sektor ini bagus, tidak lantas bisa disimpulkan peranan pemerintah telah optimal. Sektor-sektor tersebut selama ini berjalan lebih banyak berbasis kreativitas, geliat ekonomi, dan inisiasi individu (private). Bahkan, jujur saja, sektor perdagangan tetap tumbuh di tengah buruknya infrastruktur ekonomi.
Sebaliknya, berhasil atau tidaknya perkembangan sektor pertanian dan industri sangat tergantung dari peran (intervensi) pemerintah secara langsung. Ini bukan hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga berlangsung di negara maju sampai saat ini. Oleh karena itu, muramnya pertumbuhan sektor pertanian dan industri di Jatim menunjukkan ketidakcakapan pemerintah (provinsi/ kabupaten/kota) dalam mendorong pembangunan kedua sektor tersebut. Sulit diterima oleh akal sehat, Jatim yang merupakan lumbung sektor pertanian karena beberapa komoditas strategis pangan berasal dari Jatim, seperti beras, gula, jagung, dan kedelai, tapi kinerja sektor pertaniannya sedemikian terpuruk (bahkan pertumbuhannya lebih rendah dari nasional yang sebesar 2,9% pada 2010). Lebih absurd lagi, inflasi bahan makanan di Jatim pada 2010 sebesar 16,39%, lebih dari dua kali lipat inflasi Jatim. Inilah ironinya: menjadi produsen (surplus) pangan, tapi inflasi tertinggi disumbang dari sektor pangan!
Berikutnya, kinerja pertumbuhan sektor industri yang rendah (lebih rendah dari pertumbuhan sektor industri dan pengolahan nasional: 4,5% pada 2010) menyebabkan kontribusi sektor industri dan pengolahan terhadap PDRB di Jatim tinggal 27,49% (2010), padahal pada 2009 kontribusinya masih 28,64%. Dengan turunnya kontribusi sektor industri, secara otomatis juga menunjukkan kian terbatasnya nilai tambah dari kegaiatan ekonomi di Jatim, sebab sektor industri merupakan salah satu sektor ekonomi yang banyak menyumbahkan nilai tambah perekonomian (di samping penyerapan tenaga kerja). Secara geografis, sektor industri ini juga mengalami masalah karena terkonsentrasi di pusat-pusat ekonomi Jatim, seperti Surabaya, Lamongan, Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, dan Pasuruan, sehingga bukan merupakan kebetulan jika di sebagian wilayah itu pendapatan per kapitanya relatif tinggi.