Menerobos Kebuntuan
Dengan mencermati situasi tersebut, memang tidak mudah untuk menggerakkan perekonomian di negara-negara maju. Secara teoritis hanya dua hal yang dapat membantu bagi percepatan pemulihan ekonomi tersebut. Pertama, kerjasama ekonomi harus makin ditingkatkan, bukan hanya pertemuan-pertemuan seremonial, seperti dalam forum -7 maupun G-20, tapi juga tindakan nyata yang memiliki jejak di lapangan. Sayangnya, beberapa negara maju memiliki perbedaan pandang mengenai cara pemulihan tersebut, khususnya antara pendekatan AS dan Eropa (di antara negara-negara Eropa sendiri juga mempunyai pandangan yang lain). Kedua, kebijakan anggaran defisit dan QE terbukti untuk sementara waktu tidak efektif, sekurangnya time-lag terlalu panjang, sehingga dibutuhkan terobosan kebijakan lain untuk menopang situasi ini. Sayangnya, tidak banyak pilihan untuk mendesain kebijakan yang lebih segar ini.
Khusus untuk kerjasama antarnegara maju yang paling penting adalah kesatuan kebijakan sehingga tidak saling menegasikan antara satu negara dengan negara lain. Misalnya, jika disepakati pengendalian anggaran menjadi prioritas, maka tidak boleh ada satu pun negara yang mendesain anggaran boros sehingga melebihi pagu yang diperkenankan, misalnya 3% dari PDB. Demikian pula, jika “bailout†negara-negara tertentu dianggap jalan yang baik, misalnya kasus di beberapa negara Eropa, maka seluruh negara di kawasan Eropa mesti mendukungnya. Sementara itu, kebijakan alternatif yang harus didesain adalah mengatasi time-lag yang panjang antara kebijakan QE dengan penumbuhan investasi. Sebaiknya insentif atau subsidi yang lebih langsung dan targeted, misalnya industri otomotif, baja, pertanian, atau yang lain diperbanyak ketimbang kebijakan QE yang terlalu umum dan sasarnnya tidak jelas.
Bagaimana dengan Indonesia? Sampai sekarang tidak terlalu ada dampak yang merisaukan terhadap situasi dunia tersebut, tapi ada baiknya 3 hal berikut segera dilakukan. Pertama, konsolidasi kualitas pembangunan/pertumbuhan ekonomi dalam 3 tahun ke depan senyampang negara-negara lain sibuk dengan mengatasi krisis/resesi ekonominya. Kedua, perlu membangun protokol di sektor keuangan yang berpusat kepada pengurangan investasi portofolio sehingga memiliki dua dimensi sekaligus: percepatan sektor riil dan mengurangi volatilitas di sektor keuangan. Ketiga, pertumbuhan impor akhir-akhir ini makin cepat melampaui pertumbuhan ekspor sehingga perlu dijajaki pengembangan industri/jasa yang tidak bergantung dari bahan baku impor. Jika tiga hal tersebut dilakukan secara serentak, rasanya Indonesia bukan hanya akan terhindar dari resesi, tapi sekaligus juga meletakkan dasar-dasar ekonomi yang sehat.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef