Konstelasi perekonomian dunia telah berubah dengan cepat dalam satu dasawarsa terakhir. Kedigdayaan AS dan Eropa dalam ekonomi global mulai surut digeser oleh China dan beberapa negara lainnya (Rusia, Brazil, India). Krisis ekonomi saat ini di negara maju turut mempercepat kemerosotan kekuatan ekonomi AS dan Eropa. Sejak 2010 eksportir terbesar di dunia tidak lagi dipegang Jerman, tapi diambil alih China. Demikian pula pembeli surat utang terbesar AS bukan lagi Jepang, tapi (lagi-lagi) China. Jika China tidak turun tangan pada 2009 lalu membeli surat utang pemerintah AS, tentu krisis 2008 lalu tidak secepat ini bisa diatasi. Namun, China dan Eropa tentu tidak tinggal diam melihat perubahan peta tersebut. Mereka memakai seluruh cara dan saluran yang ada untuk menghambat penetrasi China dalam ekonomi dunia. Sebaliknya, China terus merangsek dengan agenda baru yang selalu mengejutkan.
Trans-Pacific Partnership
Sampai saat sekarang AS masih merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia, khususnya dilihat dari PDB. PDB AS saat ini sekitar US$ 16 triliun, sedangkan China baru US$ 5,8 triliun (atau 30% nya). Namun, jika dilihat percepatan pertumbuhan ekonomi China yang tinggi dan stabil dalam 10 tahun terakhir, maka diperkirakan pada 2030 PDB China sudah melampaui AS. Pada 2010 China berhasil mecapai pertumbuhan ekonomi 9,5% dan AS hanya 2,85%. Pertumbuhan AS tersebut sudah lumayan bagus karena pada 2009 tumbuh negatif akibat diterjang krisis ekonomi (subprime-mortgage yang berpangkal dari AS sendiri). Sementara itu, pada 2011 ini pertumbuhan China diprediksi agak turun sedikit menjadi 9% akibat resesi ekonomi di negara maju, sedangkan AS pertumbuhannya diperkirakan di bawah 2%. Jika situasi ini bisa dianggap konstan, maka 2030 China akan melebih AS bukanlah merupakan impian.
AS sudah mulai melangkah untuk meredam kemerosotan ekonomi domestik dengan melakukan diplomasi maupun mengubah orientasi kebijakan ekonomi. Sekarang AS tengah menggodok dua upaya penting yang diharapkan bisa berkontribusi terhadap perekonomian. Pertama, revitalisasi badan usaha milik negara (BUMN) agar menjadi penambah vitalitas perekononian, di samping korporasi swasta. Pemerintah Obama sedang menyiapkan paket proteksi terhadap BUMN dan subsidi sehingga korporasi “plat merah†itu memiliki tenaga yang lebih kuat. Meskipun kebijakan ini tidak lazim menurut ukuran AS, tapi Obama yakin usaha ini akan berhasil. Kedua, pada akhir Oktober ini AS juga menjajaki kerjasama ekonomi yang luas dengan negara trans-pasifik, seperti Australia, Brunei, Chili, Malaysia, Selandia Baru, Peru, Singapura, dan Vietnam; yang kemungkinan akan diberi nama “Trans-Pacific Partnership†(The Wall Street Journal, 26/10/2011).
China tentu juga tidak puas dengan capaian yang telah diraih. Seperti halnya AS, China juga sangat agresif membuka kerjasama ekonomi negara-negara kawasan, khususnya di Asia, dalam bingkai perdagangan bebas. China di antaranya merebut kesempatan di pasar Asia Tenggara dengan meratifikasi ACFTA (Asean China Free Trade Area). Pasar Asean dibidik China karena di wilayah ini sekurangnya ada 4 negara yang perekonomiannya menonjol, yakni Singapura, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Hasilnya luar biasa, China berhasil mengkapitalisasi perdagangan yang meningkat drastis sepanjang 2010 (tahun pertama ACFTA). Khusus ke Indonesia saja, pada 2010 ekspor China melesat menjadi US$ 20,2 miliar, padahal pada 2009 masih US$ 14,8 miliar. Sementara itu, iklim investasi China terus diperbaiki dengan jalan membangun mega-infrastruktur yang telah dimulai sejak 10 tahun terakhir.